Baligya Marebhu Bhumi adalah upacara yang diselenggarakan seribu tahun sekali, yaitu ketika tahun Saka berakhir dengan 000 (windhu tiga). Maka upacara besar yang pada dasarnya berupa bhuta yajna tersebut baru akan dilaksanakan pada tahun 2000 Saka atau 2079 Masehi.
Seperti halnya upacara Panca Bali Krama (ketika tahun Saka berakhir dengan windhu, atau sepuluh tahun sekali), dan Eka Dasa Rudra (ketika tahun Saka berakhir dengan dua windhu atau windhu turas, atau seratus tahun sekali), maka Baligya Marebhu Bhumi dilaksanakan pada Tilem Caitra, bulan mati ketika matahari dan bulan tegak lurus di atas garis khatulistiwa, garis yang membelah bumi. Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum umat Hindu memasuki Tahun Baru Saka yang disebut Hari Nyepi, tanggal 1 bulan Waisaka (pananggal ping pisan sasih waisaka/Kadasa).
Tahun Baru Saka dimulai pada tanggal 22 Maret 79. Inilah tanggal 1, bulan 1, tahun 1 Saka. Sehari sebelumnya, yaitu tanggal 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam gerhana matahari total (ketika bulan menutupi matahari, sehingga sinarnya tidak memancar ke bumi), maka hari itu adalah Tilem atau bulan mati. Sekadar mengingatkan saja, gerhana matahari terjadi pada Tilem, sedangkan gerhana bulan terjadi saat Purnama.
Karena itu, bisa dipahami bahwa penetapan Tahun Saka oleh Raja Kaniskha pertama-tama berdasarkan wawasan kesejagatan, dengan menjadikan matahari dan bulan sebagai perhitungan. Ketika matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa (matahari berada di atas garis khatulistiwa pada tanggal 21 Maret saat tahun biasa, atau tanggal 22 Maret pada tahun Kabisat), arah timur itu menjadi pati, yaitu tempat matahari terbit. Demikian juga halnya arah barat, tempat matahari terbenam. Di Bali arah ini menjadi penting (kangin-kauh), karena dari sana akan ditarik sudut 90 derajat untuk mendapat arah utara-selatan (kaja-kelod). Maka ditetapkanlah sebuah perempatan (catus-pata) sebagai langkah awal menetapkan tata ruang desa, sebagai tempat melangsungkan bhuta-yajna, upacara berwawasan kesejagatan (dari pratiwi sampai dengan akasa). Upacara yang diselenggarakan tepat pada saat sandhya, ketika matahari dalam posisi tertentu.
Diwasa atau pemilihan waktu menjadi sangat penting dalam semua kegiatan yajna.
Demikian juga halnya dengan pemilihan tempat. Apabila bhuta-yajna utamanya dilaksanakan pada saat Tilem, maka dewa-yajna dilaksanakan pada saat Purnama, saat bulan bersinar sempurna. Dan, ketika matahari dan bulan sempurna sinarnya menyirami bumi, yaitu pada Purnama Waisaka, lima belas hari setelah melaksanakan bhuta-yajna (Tilem Caitra) dilaksanakanlah upacara dewayajna yang diberi nama Bhatara Turun Kabeh.
Setelah upacara Panca Bali Krama dan Eka Dasa Rudra dilaksanakan, maka pada saatnya nanti akan dilaksanakan upacara Baligya Marebhu Bhumi. Inilah upacara sebagai tonggak umat Hindu memasuki milenium baru tahun Saka. Upacara ini diselenggarakan di suatu tempat terpilih, yang ditetapkan sebagai catus-pataning bhumi, sebagai madyanikang bhuwana (tengahnya jagat).
Di Balik rangkaian upacara bhuta yajna yang diselenggarakan secara teratur, memang kita diajak untuk mengembangkan wawasan kesemestaan, lalu menyadari posisi diri kita di alam raya ini. Wawasan kesemestaan menjadi landasan kesadaran religius, menyangkut hubungan manusia dengan Sang Pencipta, dengan sesama manusia, dengan alam raya dan segala isinya.
Bali, sebuah pulau kecil di jagat raya ini, tempat diselenggarakannya upacara Panca Bali Krama sampai dengan Baligya Marebhu Bhumi nantinya, adalah pulau yang menyimpan renungan tentang bhuta (‘unsur yang ada’) dan kala (waktu). Begitulah, di Bali kita memang belajar tentang hakikat makna kala (waktu), sekaligus juga kali (masa kehancuran atau kematian).
(Ida Bagus Gede Agastya)
Comments
Post a Comment