Galungan yang dinyatakan sebagai kemenangan dharma atas adharma adalah tafsir baru. Orang Bali semestinya memasuki hari raya kemenangan itu dengan penuh kehati-hatian.
Bali punya banyak hari raya, memiliki banyak hari baik. Tapi yang paling meriah dirayakan adalah hari Galungan. Inilah hari besar yang penuh dengan warna suka cita, semarak, diyakini sebagai hari otonan jagat. Hari yang penuh dengan hiburan, dan itu juga berarti hari-hari yang penuh dengan kegiatan kesenian.
Kepada SARAD, pengurus Pusat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Drs Gede Sura mengungkap makna hari raya Galungan itu. Sebuah hari besar yang khas dan asli Indonesia, yang lazim dilakoni oleh masyarakat agraris. “Galungan adalah hari kemenangan, yang memang seyogyanya kita rayakan dengan meriah,” ungkap Sura.
Mengapa kita mesti merayakan Galungan dengan meriah?
Untuk Bali, secara tradisional Galu-ngan dirayakan kembali sejak zaman pemerintahan Sri Jaya Kusunu. Karena sebelumnya Galungan pernah tidak dilaksanakan. Akibatnya kehidupan rakyat menderita dan umur raja-raja pendek. Namun akhirnya Galungan hingga kini terus dilaksanakan dengan kemeriahan oleh masyarakat. Ini disebabkan karena ada kecenderungan hari raya Galungan adalah hari usaba. Di samping sifat orang Bali sendiri dalam merayakan hari raya penuh kegairahan dalam kebersamaan.
Maksudnya bagaimana?
Berbicara Galungan tidak lepas dari sejarah masuknya agama Hindu ke Bali. Kalau kita kaji secara hipotesa sejarah hari raya Galungan adalah hari raya asli Indonesia, khususnya Bali-Jawa. Hari raya Galungan awalnya adalah budaya religius pra-Hindu. Kemudian agama Hindu masuk ke Bali. Jika kita amati dalam rangkaian perayaan Galungan, pendukungnya adalah masyarakat agraris. Tetapi a-gama Hindu ke mana pun datang tidak membunuh budaya atau kepercayaan yang sudah ada tetapi dihindukan. Demikian juga halnya dengan pelaksanaan Galungan yang didukung oleh masyarakat agraris.
Lantas kalau di India sendiri bagaimana?
Di India ada hari raya yang dinamakan Wijaya Dasami. Hari raya ini mirip dengan hari raya Galungan, tapi tidak sama dengan hari raya Galungan. Hari raya Wijaya Dasami ini di India juga dirayakan sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma. Rangkaian hari rayanya sama berlangsung selama sepuluh hari. Hanya saja puncak perayaannya pada hari kesepuluh.
Kalau di Bali bagaimana rangkaian upacaranya?
Dilihat dari segi teologia, rangkaian hari raya Galungan diawali dari hari Sugian Jawa dan Sugian Bali. Dari segi kehidupan religius Sugian berarti penyucian. Di sini ada ide, pikiran atau jasmani yang kotor perlu disucikan. Sehingga pada saat sugian diadakan upacara parerebuan yang berarti proses penyucian.
Mengapa Galungan terdapat rangkaian kegiatan yang mengikutinya?
Rangkaian hari raya dalam Galungan mulai dari Panyekeban, Penyajaan, Penampahan dan Galungan. Bila ditinjau dari segi sosial budaya terlihat rangkaian hari raya Galungan mencirikan kebiasaan budaya masyarakat agraris. Dalam menyongsong hari raya tentunya ada persiapan. Dan bentuk-bentuk dalam hari raya Galungan adalah bentuk-bentuk persiapan masyarakat agraris. Mula-mula adalah menyiapkan buah-buahan yakni pada hari Panyekeban. Selanjutnya membuat jajan pada hari Penyajaan dan membuat olahan daging atau hidangan masakan pada saat hari Penampahan Galungan. Semua ini merupakan persiapan-persiapan masyarakat agraris memasuki hari raya Galungan.
Dilihat dari segi tattwa bagaimana?
Dari segi tatwa, tiga hari tersebut sudah merupakan hari kedatangan Sang Kala Tiga, yaitu Kala Dungulan, Kala Galungan dan Kala Amangkurat. Di sini ada pengakuan adanya pertentangan antara dewa dan kala. Pertentangan yang dimaksudkan adalah adanya dua tenaga yang berlawanan. Hanya saja ini bertentangan tidak dalam artian beradu tetapi Kala yang diredakan. Sehingga pada saat penampahan ada sayut penampahan, yaitu aturan atau upakara yang berfungsi untuk meredakan atau men-somya-kan Batara Kala. Pada saat ini manusia harus berhati-hati agar Kala tidak masuk dan mengganggu dalam kehidupan manusia.
Seorang peneliti Jerman mengatakan, di Bali, dewa, manusia, batara, roh-roh jahat, raksasa dan kala semuanya hidup berdampinan secara harmonis. Sehingga hari raya Galungan mengandung unsur-unsur tersebut. Tidak dipertentangkan antara tattwa dan sosiokultural Bali, tetapi dijadikan satu sistem yang serasi. Misalkan, orang Bali yang suka mebat semuanya dirangkul dalam satu tatanan. Sehingga hari raya Galungan lebih cenderung bersifat hari gembira, bukan hari bersunyi-sunyi atau bersayu-sayu. Sehingga dirayakan dengan kegairahan dan kebersamaan. Yang bersayu-sayu dilaksa-nakan oleh kaum jnanin karena bersifat individual.
Bagaimana pelaksanaannya, apa tidak terjadi benturan?
Tidak. Para jnanin merayakannnya dengan melaksanakan yoga samadhi memohon agar dunia beserta isi-nya mendapat keselamatan dan kera-hayuan. Sedangkan masyarakat umumnya seperti masyarakat Bali misalnya, melaksanakan Galungan seperti yang kita lihat di Bali. Saya kira tidak akan terjadi pertentangan.
Kalau konsep jaya dalam kemenangan dharma melawan adharma, apa pengertiannya?
Galungan diartikan sebagai kemenangan dharma atas adharma merupakan tafsir-tafsir baru dan juga konsep-konsep baru. Kata jaya sendiri sebenarnya banyak dijumpai pada kitab Mahabrata, dimana ditafsirkan terjadi pertarungan besar antara Pandawa melawan Korawa. Pandawa berada pada pihak dharma yang berarti pihak yang menegakkan kebenaran, dan Korawa pada pihak adharma yang berarti pihak yang tidak melaksanakan kebenaran. Ini menyiratkan adanya konsep duan dua yang berarti bersifat dua. Lebih dikenal dengan konsep rwa bhinneda. Rwa bhinneda diartikan sebagai dua yang dibedakan yang bersifat universal. Dua hal tersebut pengertiannya di dunia ini ada sifat baik dan buruk, salah dan benar serta jahat dan tidak jahat. Pertarungan ini adalah pertarungan yang bersifat abadi. Misalkan siang dan malam yang selalu bertarung sepanjang zaman. Satu unsur saja hilang maka unsur yang lain juga akan hilang. Secara normatif hal ini merupakan pertarungan antara dharma melawan adharma yang dimenangkan oleh dharma. Hanya saja, kalah bukan berarti lenyap.
Pengertian dharma sendiri apa?
Dalam hubungan dengan hidup manusia dharma dapat diartikan sebagai upaya yang mendukung manusia untuk mendapat kerahayuan dan kepatutan. Sehingga kemenangan dharma di sini adalah kemenangan untuk menegakkan kepatutan.
Jung Iryana
Darah Mayadanawa di Sungai Petanu
Dalam Usana Bali diceritakan, perayaan Galungan adalah peringatan kemenangan Bhatara Indra dalam pertempuran melawan raja Maya-danawa. Mitologi ini mengandung kiasan tentang pergulatan kebenaran me-lawan kebatilan yang berakhir dengan kemenangan dharma.
Mayadanawa berati sifat keraksasaan yang maya. Berangkat dari pe-ngertian ini Dang Hyang Nirartha juga menulis ka-kawin Mayada-nawantaka, yang berarti matinya watak keraksa-saan yang maya.
Mayadanawa adalah raja sakti mandraguna, loba, angkara murka, raja diraja dan menganggap dirinya paling sakti, lebih sakti dibanding Dewata. Ia bahkan ssumbar berseru, “Aku inilah Tuhan!”
Ia melarang segala bentuk upakara-upakara yang telah biasa terlaksana sebelumnya sehingga bumi Bali menjadi kering dan tidak menghasilkan apa-apa. Ini mengakibatkan rakyat Bali hidup dalam kesengsaraan. Padahal segala upacara keagamaan sebelumnya secara tulus dilaksanakan oleh rakyat Bali. Termasuk perayaan hari raya Galungan yang diyakini sebagai hari otonan jagat. Maka perayaan hari raya Galungan praktis tak terlaksana. Hal ini sangat dirasakan oleh Sang Kulputih, tokoh agama di Besakih, sehingga ia bersama-sama dengan pemangku dari berbagai desa memohon di Pura Besakih agar dapat diselamatkan dari serangan raja Mayadanawa.
Permohonan tersebut akhirnya direstui oleh dewa-dewa di Indraloka yang segera mengutus Batara Mahadewa dan Dewi Danuh turun ke Bali. Dimohonkan pula ke hadapan Batara Pasupati untuk merestui kematian raja Mayadanawa.
Akhirnya berangkatlah Batara Indra yang diiringi ribuan pasukan serta para dewa dan raksasa untuk menggempur Mayadanawa di Bedahulu. Pertempuran hebat pun terjadi antara bala tentara raja Mayadanawa yang dibantu Patih Kala Wong melawan pasukan pimpinan Batara Indra. Meskipun dengan kesaktian dahsyat disertai dengan segala taktik dan strategi, toh Mayadanawa akhirnya berhasil ditaklukkan.
Kemenangan Batara Indra tak lepas dari peran Bhagawan Narada, Bhagawan Whraspati dan para bhujangga Resi Ciwasogata. Batara Indra memohon keselamatan dengan weda yoga sandinya memohon tirta suci untuk keselamatan dan kehidupan bagi bala tentara Batara Indra yang diracuni oleh Mayadanawa. Tempat munculnya tirtha itu kini diberi nama Pura Tirtha Empul di Tampaksiring.
Mayadanawa tewas dengan darah mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Darah itu menyembur seperti tak mau henti, mengalir kencang ke selatan. Konon aliran darah itu menjadi aliran sungai, yang kini diyakini sebagai Sungai Petanu. Sungai ini melintasi desa-desa Ubud, Sukawati, Blahbatuh, dan bermuara di pantai selatan Bali.
Dengan kekalahan Mayadanawa dimulailah pelaksanaan pemujaan dan persembahan yajna ke hadapan Hyang Widhi yang telah lama terputus. Pemujaan-pemujaan inilah yang hingga kini diperingati sebagai Galungan, sebagai hari turunnya dharma untuk ditegakkan kembali. Galungan pun diperingati sebagai pa-wedalan jagat, sebagai kelahiran dunia beserta seluruh isinya, yang semenjak Mayadanawa bertahta tidak mendapat pemeliharaan, sehingga bumi mengalami penghancuran.
Comments
Post a Comment