Kapan sistem kalender Bali dimulai? Agak sulit, memang, mencari jawaban pastinya. Namun, setidaknya bisa diberikan gambaran bahwa pembauran astronomi khas Nusantara dengan astronomi Hindu di Bali bisa dirunut sejak zaman pra-Hindu di Nusantara. Temuan data arkeologi berupa fosil manusia Gilimanuk di ujung barat Bali pada tahun 1962 bisa memberikan gambaran bahwa Bali pada zaman pra-Hindu bukanlah kawasan yang tak berpenghuni. Menurut pakar arkeologi Prof Dr Soejono, manusia Gilimanuk itu diperkirakan sudah berumur 2000 tahun. Satu hal yang menarik dari temuan fosil manusia Gilimanuk itu adalah pembuktian ilmiah bahwa tata cara penguburan saat itu sangat bervariasi. Ini berarti, pada saat itu penghuni Bali (Gilimanuk) sesungguhnya sudah menganut peradaban yang tinggi. Bekal penguburannya, misalnya, mempunyai ciri khas Gilimanuk dan belum pernah ditemukan di tempat lain. Sebut saja, misalnya, bekal periuk dan peralatan yang terbuat dari perunggu berbentuk unik. Ini oleh Prof Dr Soejono disebut khas Gilimanuk (Bali). Cara penguburannya pun ada membujur, ada pula terlipat. Tak luput pula ada yang menggunakan peti mati dari batu alias sarkofagus.
Memperhatikan tinggalan-tinggalan tersebut, seperti periuk bekas tempat air suci sebagai simbol pengantar roh ke tempatnya yang patut di tuju di alam baka, maka dapat ditarik kesimpulan kemungkinan besar penghuni Bali saat itu pun sudah menganut suatu kepercayaan. Berdasarkan hal ini, tiada mengherankan jika pengetahuan di bidang astronomi-astrologi sudah juga berkembang di Bali saat itu. Lebih tidak mengherankan lagi manakala temuan data arkeologi di Nusantara menunjukkan bahwa kerangka manusia purba yang ditemukan di Sangiran diperkirakan sudah berumur 600 ribu tahun; fosil manusia yang diberi nama Mojokertoensis ditaksir berusia 500 ribu tahun; lalu kerangka manusia yang ditemukan di Desa Trinil, Ngawi, sudah berumur 400 ribu tahun!
Berdasarkan itulah, saya yakin bahwa nenek moyang Nusantara (Bali) pasti meninggalkan jejak kebudayaannya. Nenek moyang Nusantara tidaklah menerima begitu saja kehadiran budaya luar, terkhusus lagi budaya astronomi luar. Sebaliknya, pengaruh itu dikaji secara mendalam dan mana yang baik diambil lalu dibaurkan dalam astronomi lokal yang telah ada dan berlaku saat itu. Muncullah rumus Pangalantaka: 54 bulan Wuku = 63 bulan Bumi = 64 bulan Candra = 70 bulan Naksatra (kelompok bintang) = 1890 hari (nemu gelang Pangalantaka). Inilah bukti terkuno yang tetap lestari hingga kini.
Bahkan, hingga 500 SM di India muncul tata cara mempelajari Veda yang populer disebut Sad-Vedangga. Salah satu di antaranya adalah Jyothisa-vedangga. Pada waktu itu muncul Tahun Suryana (Surya-ayana) berdasarkan gerak edar surya ke utara (utarayana) dan ke selatan (daksinayana). Umur tahun Suryana merata 316 hari dan menghasilkan rumus: 60 bulan Suryana = 60 bulan Bumi = 62 bulan Candra = 67 bulan Naksatra = 1830 hari; 60 tahun Wuku = 70 tahun Suryana = 71 1/6 tahun Bumi = 72 tahun Candra. Saat itu, Gunung Mahameru di India dijadikan titik pusat. Dan, pada masa inilah muncul Samvatsara-yuga (siklus 5 tahun Suryana). Sedangkan di Nusantara, Gunung Semeru yang tertinggi di Jawa (Jawa Timur) dijadikan bagaikan Gunung Mahameru. Tentang siklus 5 tahun (Samvatsara-yuga) ini kita temukan di Tengger. Adapun dalam lontar-lontar Bali belum kami temukan. Kita tentu menaruh hormat dan penghargaan tinggi kepada masyarakat Hindu di Tengger yang tetap ajeg bertahan melestarikan warisan budaya astronomi Nusantara tertua tersebut. Apresiasi serupa juga patut disampaikan kepada masyarakat Baduy di Jawa Barat karena sistem wewaran-nya yang sama dengan di Bali, mulai dari Ekawara sampai Dasawara. Prembon Jawa sekalipun tidaklah selengkap itu!
Maka, bisa dimengerti bila Eviatar Zerubavel dalam buku karyanya yang berjudul The Seven Day Circle (terbitan University of Chicago Press, London, 1989) menyebutkan bahwa sistem TIKA Bali sebagai the Indonesian Week Calendar. Setelah mendalami beraneka sistem perhitungan hari yang ada di dunia, saya bisa memastikan bahwa sistem Pawukon Nusantara yang hingga kini tetap diwarisi dan berlaku di Bali ini adalah betul-betul budaya Nusantara. Tak ada duanya di dunia.
Jadi, sistem kalender Bali itu sangat kuno. Sayang, para peneliti Barat dalam menilai suatu bangsa ibarat melihat tanaman. Mereka hanya melihat pohon, cabang, daun, dan buah. Tidak melihat akarnya. Ya, seperti itulah mereka memandang hal ini. Seolah-olah manusia di Nusantara ini, di Bali ini, bodoh semua. Sebenarnya para peneliti itu tidak begitu memperhatikan bahwa daerah mana pun mempunyai local genius, genius lokal. Lokal genius ini dibuktikan dengan kemampuan orang-orang Jawa atau Indonesia membuat Candi Borobudur, Candi Prambanan. Bagaimana orang mengangkat batu sebesar itu. Demikian juga dengan pawukon ini. Kenapa di tempat lain sama sekali tidak ada. Bahkan, di India pun tidak ada. Satuan hitung waktu di Bali tidak menampakkan kemiripannya dengan aneka perhitungan waktu di India, baik Hindu maupun Jaina.
Karena itu, sekali lagi ingin saya garisbawahi: sistem pawukon yang kini diwarisi dan masih berlaku di Bali itu merupakan hasil ciptaan nenek moyang Nusantara satu-satunya di dunia. Adalah membanggakan, manakala nenek moyang Nusantara kian terdesak pengaruh luar dari sisi budaya, sosial, ekonomi, namun budaya astronominya justru ajeg, tidak tergoyahkan. Bahkan selalu tegak menjadi penuntun pembaruan astronomi-astrologi yang datang silih berganti dari luar. Saya kira pawukon itu sudah perhitungan modern. Hanya saja karena tidak ada orang mengenal, selain di Jawa dan Bali, ya jadinya tidak menginternasional.
Memang, pawukon sendiri termasuk tahun Surya. Dan, kalau dipikir-pikir kita di Nusantara ini beruntung karena berposisi di daerah khatulistiwa menjadikan kita selalu melihat matahari, sepanjang tahun. Kita pun semua tahu bahwa sinar matahari merupakan sumber hidup dan kehidupan di bumi. Besar kemungkinan daftar perhitungan itu berdasarkan pengamatan sun-spot, titik-titik hitam pada matahari.
Begitulah, nenek moyang Nusantara itu mewariskan pawukon. Lantas, kedatangan Hindu ke Indonesia membawa perhitungan tahun Bintang (Naksatra)-Surya-Candra-Bumi dipadukan harmonis antara pawukon yang asli Nusantara dengan budaya sehingga melahirkan Pangalantaka yang sampai sekarang pun masih relevan. Nenek moyang Nusantara, termasuk Bali, memang tak tertutup terhadap perkembangan, tak menolak perubahan. Namun, semuanya dilakukan dengan seleksi yang ketat, dengan paduan yang harmonis. Dari sinilah kita bisa menapak, kenapa kemudian tahun Saka diterima di Bali, hingga kini.
Lompatan Gregorius
Konon, nun di zaman kuna lampau, tahun baru itu jatuh setiap 1 Maret, atau awal musim semi di belahan bumi utara pada 1 Maret. Tercatatlah, sejak 46 SM Kaisar Julius memperbaiki perhitungan tahun dibantu ahli astronomi bernama So-sigenes dari Alexandaria. Umur tahun di-sepakati 365,25 hari. Ini diatur dengan tiga tahun umurnya berturut-turut 365 hari, sedangkan yang keempat 366 hari dan disebut tahun kabisat. Kaisar merencanakan bertahun baru Desember. Namun karena pada 1 Januari bertepatan dengan bulan mati (Tilem) maka beberapa pengikutnya mengusulkan agar bertahun baru pada 1 Januari. Itulah sebabnya susunan bulan menjadi seperti sekarang – mulai Januari sampai Desember.
Baru beberapa tahun berjalan, pada 44 SM Kaisar Julius terbunuh. Akibatnya, pelaksanaan aturan kabisat pun keliru. Kabisat dilaksanakan setiap tiga tahun, padahal seharusnya setiap empat tahun. Ini berlangsung lama. Baru pada 6 SM kekeliruan ini diketahui. Kaisar Agustinus yang berkuasa saat itu pun melakukan perbaikan dengan meniadakan tahun kabisat selama 12 kali berturut-turut. Dan, kalender Julian (yang disusun Kaisar Julius) pun dipakai gereja-gereja. Akhirnya, setelah 46 tahun berjalan, kalender Julian itu pun dijuluki kalender Masehi.
Sejarah perkalenderan Barat lantas mengalami pelompatan penting sejak Oktober 1582. Ketika itu, Paus Gregorius XIII memperbaiki lagi perhitungan tahun. Tanggal 5 Oktober 1582 langsung diubah menjadi 15 Oktober 1582, atau maju 10 hari. Jadi, tahun 1582 umurnya hanya 355 hari, bukan 365 hari. Di samping itu juga muncul perhitungan kabisat abad. Maksud-nya, bila bilangan tahun tidak habis dibagi 400 tidak termasuk tahun kabisat meskipun habis dibagi 4. Misalnya, tahun 1700, 1800, 1900 bukan tahun kabisat. Sedangkan 1600 dan 2000 termasuk tahun kabisat karena habis dibagi 400. Perhitungan Gregorius inilah yang terus berlaku secara internasional, sampai sekarang – sehingga dikenal istilah ka-lender Gregorian.
Dari paparan tersebut, maka bisa dimengerti bahwa awal musim semi di belahan bumi bagian utara yang populer di-sebut Vernal Equinox sekarang jatuh pada 21 Maret, bukan 1 Maret. Ini disebabkan karena adanya perhitungan yang maju oleh Agustinus dan Gregorius. Padahal, sebenarnya tanggal 21 Maret dalam hitungan sekarang sebenarnya sama saja dengan 1 Maret hitungan kuno.
Tahun Saka
Secara historis memang dicatat Tahun Baru Saka pertama dimulai 21 Maret 79. Penetapan itu dilakukan di India oleh Raja Kaniskha. Bagaimana persisnya sehingga masuk Nusantara (Indonesia) belum ada bukti sejarah yang pasti.
Dalam Hinstory of Calendar dituliskan, pada 52 Saka (130 M) di Ujain (sekarang Malawa/Gujarat) meledak pe-rang memperebutkan kekuasaan. Saat itu muncul dua nama penguasa, yakni Castana (putra Jamodika) dan Rudraman (putra Jayadama). Peristiwa tersebut menyebabkan banyak penduduk Ujain merasa terancam jiwanya. Mereka lantas melarikan diri tak ubahnya manusia perahu zaman sekarang.
Adalah menarik bahwa buku Pustaka Rajya-rajya ing Nusantara menuliskan, pada 52 Saka (130 M) juga datang imigran dari Gujarat dipimpin oleh De-wawarman. Lalu, bermukim di ujung ba-rat Pulau Jawa dan mendirikan kerajaan dengan nama Negara Salaka (Negara Perak). Ibukotanya disebut Rajatapura. Tahun 267 Saka (345 M) datang lagi imigran dari Gujarat dipimpin oleh Dharmawirya. Mereka ini kemudian membaur dan menetap di Negara Salaka.
Gelombang migrasi itu rupanya berlanjut. Tahun 270 Saka (348 M) kembali datang imigran Gujarat. Kali ini dipim-pin oleh Maharsi Maharaja Guru, dan tercatat mendirikan Kerajaan Taruma Negara. Penulis Nyoman S Pendit dalam buku Nyepi karyanya pun menyebutkan, pada 378 Saka (456 M) datang seorang pendeta Saka bergelar Aji Saka dari Malawa alias Gujarat. Pendeta ini disebutkan sangat populer di tanah Jawa. Konon pendeta inilah yang mengajarkan aksara Palawa yang kemudian menjadi aksara Jawa. Dari sinilah diperkirakan tahun Saka itu mulai berkembang pesat di Nusantara dan berlanjut hingga kini.
Di sisi lain, bukti otentik berupa prasasti, sejauh ini, belum ditemukan. Sedangkan menurut para sejarahwan, kerajaan Hindu tertua adalah Kerajaan Kutai di Kalimantan yang diprakirakan sudah ada sejak 400 Masehi atau 322 Saka. Prasasti tertua yang berisi tarik Saka adalah Prasasti Canggal yang dibuat Raja Sanjaya, bertahun 654 Saka, atau 732 Masehi.
Di India sendiri setelah tarik Saka muncul pula beberapa tarik lain. Namun semuanya tak ada pengaruhnya ke Nusantara, terutama Bali. Saka solar-sistem tetaplah satu-satunya yang terpopuler bagi Hindu di Indonesia. Saking ba- nyaknya tarik di India, akhirnya untuk kesatuan tarik, pemerintah India pun membentuk sebuah komisi yang bertugas mengkaji penanggalan India. Komisi yang dibentuk November 1952 tersebut diketuai Prof MN Shaha dan Commodore SK Chatterjee AVSM (Retd) FIE, MASI. Hasilnya, setelah mengkaji dengan berpedoman pada posisi bintang-surya-candra-bumi tahun 1960 yang mendekati perhitungan sama pada tahun 207 (285 Masehi), pemerintah India pun menetapkan tarik Saka sebagai tahun nasionalnya. Ini berlaku sejak 1957.
Memang, sesungguhnya pada 285 Masehi (= 207 Saka) Hindu (India) baru menyesuaikan perhitungan tahun Saka dengan tahun yang diakui dunia. Tepatnya, sejak Minggu Tilem Caitra (di Bali Kasanga, bulan ke-9), tanggal 22 Maret 285. Ini bertolok ukur dari waktu standar India (IST) 21.27, bertepatan dengan Tilem. Sejak abad ke-3 hingga abad ke-17 sebenarnya para ahli astronomi India berpacu menghitung ketepatan atau kebenaran gerak edar matahari. Mereka saling adu ketelitian dan ketepatan. Akibatnya, banyak Siddhanta bermunculan. Di antara sekian banyak Siddhanta, Surya Siddhanta paling top ketepatannya.
Lantas, mengapa Caitra (Kasanga) merupakan tahun baru Saka, sedangkan umat Hindu di Indonesia (termasuk Bali) bertahun baru Saka pada Waisaka (= Kadasa, bulan kesepuluh)? Juga, mengapa hari Nyepi jatuhnya tidak tetap pada tanggal Masehi?
Untuk itu, patut dipahami bahwa tahun baru Saka solar-sistem jatuh pada 22 Maret bila tahun kabisat, atau 21 Maret pada tahun-tahun biasa (bukan kabisat). Nyepi di Bali (Indonesia) merupakan kegiatan momentum spiritual yang ditandai dengan upacara, dan upacara di Bali senantiasa berdasarkan subha-diwasa (hari baik), yakni berdasarkan keserasian bintang-surya-candra-bumi. Dan, tadi sudah disebutkan bahwa penyempurnaan perhitungan tahun Hindu (Saka) bertolok ukur dengan waktu standar India 21.27, saat mana bujur bintang Citta (Spica) bertepatan dengan 180 derajat nol (0) menit tiga detik, seimbang dengan bujur Surya 360 derajat. Ini berarti hari Amawasya (Tilem). Berdasarkan itu, perayaan tutup tahun Saka luni-solar-sistem diselenggarakan pada Tilem Caitra (Kasanga) Nirayana (Hindu memakai titik awal kedudukan bintang atau rasi tertentu pada posisinya yang permanen, baku, tetap sehingga disebut nirayana, yang berarti ‘tidak bergerak’), yaitu Tilem yang jatuh antara 15 Maret-14 April. Ini sesuai dengan hasil keputusan kongres para ahli astronomi, penyusun kalender seluruh India, dan para pandita di pemerintahan pada Januari 1987 di Bombay.
Esoknya pratipada sukla paksa Waisaka (Kadasa, bulan ke-10) masa (luni-solar sistem) penyepian. Nyepi merupakan rangkaian tawur sekaligus perayaan menyongsong Tahun Baru Saka. Itulah sebabnya disebut bertahun baru pada Waisaka (Kadasa) bagi penganut tarik Saka luni-solar-sistem. Penganut tarik Saka lunar atau luni-solar sistem ada dua sistem, yakni Purnimanta (bulannya Purnama ke Purnama), ada pula yang Amanta (bulannya dari Tilem ke Tilem). Ini menyebabkan tahun barunya ada yang panglong 1 Kasanga (bulan ke-9) atau ada juga yang pananggal 1 Kadasa (bulan ke-10).
Patut dimaklumi bahwa tarik Saka dianut banyak sekte. Juga dianut oleh ba-nyak kerajaan di India. Satu sama lain menganut perhitungan berbeda. Gujarat (India selatan) menganut dua tarik, yakni Samvat bertahun baru pada Kartika (Kapat, ke-4) dan juga menganut tarik Saka. Desa Banyuning di Buleleng mirip dengan Gujarat ini.
Di Bali sendiri baru sejak 1967 upacara tawur Kasanga dilangsungkan pada Tilem Kasanga, esoknya pananggal 1 Kadasa (Waisaka) Nyepi. Sebelumnya, tawur dilakukan pada prawani (sehari sebelum Tilem), sedangkan Nyepi pada Tilem Kasanga. Pengubahan ini mungkin untuk menepati aturan tentang tahun Saka yang berdasarkan luni-solar Amanta sistem.
Memang, sasih Kasanga sejak 285-1582 Masehi (= 207-1504 Saka) jatuh antara 3 Maret — 2 April, sedangkan setelah 1582 jatuh antara 15 Maret—14 April, berdasarkan kongres di Bombay, Januari 1987 lalu. Sesungguhnya bukan posisi sasih Kasanga (Caitra) yang berubah, melainkan karena tanggal Masehi-lah yang berubah, akibat perubahan yang dilakukan Gregorius bulan Oktober 1582. Perubahan ini tidak tercatat oleh para pecinta wariga di Bali. Hubungan Bali de-ngan Jawa maupun India tampaknya terputus. Di Nusantara perkembangan astronomi Islam saat itu sedang memuncak. Bali sendiri tak henti-hentinya ditikam perang saudara antarkerajaan, lalu dijajah Belanda, akhirnya Jepang. Bali, saat itu, bagai terisolasi. Rakyat tercekam ketakutan, kesulitan sandang dan pangan. Upacara tak berlangsung sebagaimana mestinya.
Satu hal mendasar yang perlu dicatat adalah bahwa pemilihan dan penerimaan tahun Saka solar-sistem oleh Bali yang diimplementasikan lewat upacara tawur saat Tilem Kasanga dan tahun baru Waisaka menunjukkan pembuktian toleransi beragama yang kuat. Selain itu, perbaikan penghitungan umur tahun pada 207 Saka (285 M) menunjukkan konsep kekokohan, ketetapan, ketegakan, kelanggengan (nir-ayana) karena didasarkan pada posisi bintang-bintang yang permanen. Terakhir, keseimbangan sinar matahari siang malam merupakan keadilan yang merata.
Jadi, ada hitungan-hitungan yang penuh perhitungan. Bukan asal-asalan. Karenanya, kini saya tak mengerti, kenapa orang Bali ikut-ikutan milenium. Itu hitungan Barat. Perhitungan kalender Bali hanya mengenal tertinggi 100, Eka Dasa Rudra. Kalau seribu itu artinya 10 kali 100. Kita di Bali menghitungnya dari windhu (0) ke windhu. Ini perlu direnungkan, karena waktu bagi orang Bali diakui sangat berkuasa. Itu sebabnya kita perlu menata waktu sebaik-baiknya.
K. Kebek Sukarsa adalah Mantan Ketua Ikatan Penyusun Kalender Bali. Tulisan ini disarikan dari Pembaruan Astronomi Nusantara-Hindu-Jaina dan Lainnya di Bali.
Comments
Post a Comment