Beginilah kami haturkan sembah kami ke hadapan-Mu, Hyang Paramakawi . Karunia beras-Mu kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami ulat-ulat jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu, Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. . Maka, inilah SARAD persembahan kami Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk kayonan cerah makenyah kami letakkan di sisi kiri pamedal genah tawur di...
Jejak sejarah dwi tunggal tak cuma hadir di percaturan politik nasional (seperti Soekarno-Hatta, atau Gus Dur-Megawati), tapi juga di tingkat lokal: Bali. Dwi tunggal Bali ini tak ada sangkut pautnya dengan politik, tapi erat dengan ketakwaan umat Hindu. Siapa saja yang pernah pedek tangkil ke Pura Ulun Danu Batur, akan bersua dengan pangelingsir pura: Jero Gede Duwuran dan Jero Gede Alitan, sering disebut sebagai Jero Gede Mekalihan. Artinya Jero Gede berdua.

Jero Gede Duwuran mengaku hadir di Besakih ketika Eka Dasa Rudra tahun 1963. "Saya diajak kakek, jalan kaki lewat Suter, menggunakan talam untuk melindungi kepala dari hujan letusan Gunung Agung, " kenangnya. Telinganya pun bising oleh dentang batu yang menabrak talam. "Kakek menyuruh saya membuang talam, dan meminta agar terus berdoa mohon keselamatan," katanya. Tentu Jero Gede selamat, kalau tidak ia tak akan hadir memimpin persembahyangan umat yang pedek tangkil di Batur hingga kini.
Agus, AW, WS
Comments
Post a Comment