Soroh Pasek dan Pande punya program membantu anak tak mampu. Keinginan ini menghadapi kendala karena Bali terlanjur diproklamirkan sebagai daerah bebas tiga buta dan prasejahtera.
Serombongan anak berseragam putih-merah berlarian di halaman sekolah. Wajah mereka ceria. Kemudian,''Ayo …..sekolah!" Itu sepenggal pesan iklan layanan yang mencoba menerobos sisi kemanusiaan pemirsa, bagi mereka yang masih menyisakan sudut-sudut hati mereka untuk kemanusiaan.
Bagi orang Bali, kendati tidak bisa dicatat sebagai sesuatu yang mengesankan, sisi kemanusiaan itu tentu masih ada. Setidaknya, bagi dua keluarga besar soroh di Bali: keluarga besar Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi dan keluarga besar Maha Semaya Warga Pande."Progam bagi pendidikan anak-anak tidak mampu itu sudah ada sejak tahun 1989,'' ujar Sekjen Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi wilayah Bali, Dr Ir I Gde Pitana Brahmandita, MSc, dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Program tersebut berupa pemberian beasiswa bagi anak-anak warga Pasek yang tidak mampu. Bantuannya tidak besar karena sifatnya hanya sebagai perangsang. Program ini sudah berjalan di tiap kabupaten hingga tahun 1996. ''Sayangnya setelah itu macet,'' aku Pitana. Penyebabnya, dana. "Walaupun demikian, kami pengurus baru berkeinginan meneruskan program tersebut,'' tutur dosen Fakultas Pertanian Unud ini. Bahkan, rencananya sasarannya tidak hanya di keluarga besar Pasek, "Melainkan juga pada masyarakat Bali yang membutuhkannya,'' lanjut Pitana.
Kepedulian pada nasib pendidikan anak-anak tidak mampu di Bali juga ditunjukkan keluarga besar Pande. "Kami di keluarga Pande melalui pesamuhan agung I dan II, memang dalam program mencantumkan program untuk membantu anak-anak tidak mampu agar tetap dapat sekolah,'' ujar Ketua Umum Maha Semaya Warga Pande, Prof I Made Widnyana, SH. Program tersebut dalam bentuk partisipasi pada program pemerintah, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA). Hanya saja program tersebut belum dapat berjalan seperti diharapkan. Kendalanya klasik, soal dana. "Karena untuk sementara waktu dana dikonsentrasikan buat membangun dan memperluas palinggih Ratu Bagus Pande di Besakih,'' ungkap guru besar Fakultas Hukum Unud ini. Walaupun demikian, Widnyana mengatakan, di pengurus sudah ada tekad melaksanakan program tersebut setelah pembangunan dan perluasan palinggih Ratu Bagus Pande di Besakih beres. Sebab gara-gara krisis ekonomi, terjadi pembengkakan dana untuk pembangunan itu.
Tekad keluarga besar Pasek dan Pande itu didasari upaya menumbuhkan kesadaran umat. Kesadaran bahwa beragama tidak hanya sekadar upacara tetapi juga perbuatan menolong sesama manusia. "Ini yang perlu diluruskan. Bahwa yajna itu jangan hanya diartikan sebagai upacara besar di pura. Yadnya dalam menawa sewa-madawa sewa bisa dalam bentuk melayani manusia. Sebab melayani sesama manusia berarti juga mengabdi kepada Hyang Widhi,'' jelas Pitana panjang lebar.
Pitana dan Widnyana tidak memungkiri, di Bali kesadaran saling membantu se-sama manusia (hubungan horisontal) masih rendah. "Untuk menggugah warga, kami mengajak sri mpu berkeliling memberikan dharma wacana di kalangan warga kami. Karena kalau sri mpu yang mengajak, biasanya lebih efektif,'' jelas Widnyana.
Dalam upaya menggugah kepedulian ini tidak sedikit hambatan yang dialami. Salah satunya karena klaim pemerintah bahwa Bali bebas tiga buta dan bebas keluarga prasejahtera, maka pengumpulan data bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu menjadi agak terhambat. "Mereka takut sama pemerintah,'' ungkap Pitana terus terang.
Mengatasi hal itu, di keluarga besar Pasek, para pemimpinnya mencoba menelusuri melalui pendataan di dadia-dadia. Kendala lain adalah, soal krisis kepercayaan umat terhadap pengelolaan dana masyarakat oleh suatu lembaga, yayasan atau kelompok, akibat pada era pemerintahan Orde Baru sering terjadi penyalahgunaan dana. ''Untuk itu pengelolaan dananya akan dilakukan secara transparan,'' kata Pitana. Sementara keluarga besar Pande, menurut Widnyana, mencoba memanfaatkan gabungan data dari GNOTA dan informasi dari keluarga di dadia-dadia.
Apakah umat tergugah? Soal tergugahnya kepedulian itu, Pitana optimis dapat diwujudkan "Saya yakin, tetapi tidak dapat segera,'' tandasnya. Artinya, Bali punya harapan besar menepis tudingan orang luar, bahwa masayarakat Bali lebih menumpahkan uangnya untuk kepentingan upacara tinimbang buat keperluan pendidikan anak cucu mereka.
Ananta Wijaya
Comments
Post a Comment