Agar bisa merayakan Galungan dengan khidmat, warga Bali di Australia bercita-cita membangun pura. Di Belanda Galungan dirayakan dengan ngelawar.
Orang Bali yang beragama Hindu tersebar tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di berbagai negeri dis eluruh dunia seperti Amerika, Eropa, Jepang atau Australia. Mereka menetap (untuk sementara atau selamanya) di negeri-negeri itu ada yang karena migrasi, perkawinan, karena tugas belajar atau bekerja.
Bagaimanakah warga Bali diaspora (tersebar) ini merayakan Galungan dan Kuningan di mancanegara? Adakah mereka mabakti, sembahyang atau hanya piknik dalam perayaan Galungan dan Kuningan? Bagi warga Bali di luar negeri, hari raya Galungan dan Kuningan adalah salah satu hari yang dinanti-nantikan bukan untuk kegiatan ritual total seperti di Bali tetapi lebih sebagai acara untuk beramah-tamah atau mengumbar rindu terhadap kampung halaman. Meski demikian, perayaan hari raya tersebut bukannya bebas sama sekali dari aspek ritual dan kultural. Warga Bali di Victoria (Melbourne), Australia yang tergabung dalam Mahindra, misalnya, rutin merayakan hari raya Galungan dan Kuningan. Perayaan tersebut biasanya diisi dengan acara persembahyangan bersama (tri sandhya dan pancasembah), ramah tamah, atau malam kesenian. Makna spiritualitasnya tentu sulit diukur. Karena tidak ada pura atau tempat suci lainnya, persembahyangan cukup dilaksanakan di rumah warga yang menjadi tuan rumah secara bergiliran.
Kadang-kadang, seperti di Sydney dan Brisbane, Amerika dan Jepang, perayaan Galungan dan Kuningan dilaksanakan di taman kota. Perayaan demikian tak ubahnya seperti piknik saja. Untuk mencapai tempat perayaan, tak jarang warga harus menempuh jarak antara 50 sampai 80 km, karena mereka tinggal tersebar di luar kota. Terkadang tidak semua warga bisa hadir, meski demikian perayaan Galungan dan Kuningan selalu ramai, seperti halnya yang terjadi di Sydney dan Brisbane. Masing-masing warga membawa makanan, termasuk lawar dan sate, untuk dinikmati bersama. Ada juga warga yang membawa banten atau sodaan dengan sampian terbuat dari kertas atau rontal yang dibawa dari Bali. Untuk menciptakan nuansa Bali, pajeng atau tedung perada dipancangkan. Penjor tentu saja tidak ada.
Untuk perayaan yang agak besar atau istimewa, warga Bali sesekali menggelar malam kesenian yang menjadi ajang untuk menampilkan kesenian Bali, memperkenalkan (menjual) masakan Bali (Indonesia), dan menggali dana untuk organisasi. Warga Bali di Queensland sudah berhasil membeli seperangkat gamelan dari hasil pagelaran malam kesenian dalam rangka hari raya Galungan dan Kuningan. Menurut Nyoman Suma, mantan karyawan Hotel Bali Hyatt Sanur yang kini bekerja di sebuah hotel berbintang di Gold Coast (Queensland), warga Bali sering mendapat undangan untuk pentas. "Oleh karena itulah, kami bertekad membeli gamelan," ujar Nyoman Suma.
Sebelum membeli gamelan, mereka membeli seperangkat baleganjur. Setelah dana cukup terkumpul, mereka membeli gamelan komplit dengan menjual baleganjur. Dengan perangkat gamelan yang ada, warga Bali di Queensland bisa tampil mengisi acara kesenian. Walaupun mereka bukan seniman profesional, penampilan mereka tidak mengecewakan, buktinya mereka terus diundang untuk mengisi acara festival multibudaya di berbagai kota.
Hari perayaan Galungan dan Kuningan selalu dilaksanakan tepat pada hari Kuningan karena jatuh hari Sabtu ketika warga menikmati liburan akhir pekan (week end). Santai atau rileks saat akhir pekan merupakan hal biasa tetapi week end saat hari raya Kuningan bagi warga Bali di luar negeri tentu memiliki arti tersendiri.
Di negeri di mana warga Bali berkumpul dalam jumlah relatif banyak dan mereka bergabung dalam satu komunitas seperti banjar, saat perayaan Galungan dan Kuningan mereka biasanya menggelar sangkep banjar, untuk pertanggungjawaban atau pemilihan kelihan banjar jika masa jabatannya habis. Dalam sangkep itu sering juga muncul ide di antara warga Bali di luar negeri untuk melakukan amal bakti sosial kepada warga Bali di Bali. Warga Bali di Queensland, misalnya, beberapa kali sudah mengumpulkan dana untuk membantu panti asuhan atau korban bencana alam di Bali.
Juga sering muncul keinginan mereka untuk membangun pura sehingga persatuan sesama warga Bali bisa lebih erat. Namun, gagasan baik ini selalu kandas karena terbentur dana dan masalah prinsip lainnya. Harga tanah untuk pura mahal sekali, sementara warga Bali di Australia tidak ada yang sukses menjadi jutawan yang bisa diharapkan menjadi donatur. Berbeda misalnya dengan warga Cina yang bisa membangun klenteng atau vihara karena didu-kung donatur dan pengusaha yang kuat. Masalah lain bagi warga Bali, jika pura dibangun, siapa lalu menjadi pemangku, dan bagaimana teknis kegiatan pura diatur. Ini semua sulit dipecahkan sehingga gagasan membangun pura terus timbul-tenggelam.
Makanya, sementara ini, perayaan Galungan dan Kuningan sebatas menjadi selingan atau 'piknik plus' bagi orang Bali di luar negeri dalam kehidupan mereka yang pada hari-hari biasa tergencet oleh rutinitas sebagai insan yang hidup di tengah-tengah masyarakat industri.
Galungan menjadi kesempatan reuni juga dialami oleh orang-orang Bali di Belanda. Seorang mahasiswa program dotoral, Pande Made Kutanegara, yang tinggal di Nijmegen, berusaha mengontak teman-teman Bali di seluruh Belanda jika hendak merayakan Galungan. Galungan Januari 2000 ini akan mereka rayakan di rumah Kutanegara seperti yang sudah-sudah. Mereka berkumpul dengan sesama orang Bali untuk merayakan Galungan tanpa kemeriahan upacara seperti lazimnya di Bali. "Kami mengisinya dengan ngelawar dan sembahyang tri sandhya, " ujar Pande.
Memang agak sulit mengumpulkan orang Bali di seluruh Belanda agar hadir pada satu tempat seperti untuk merayakan Galungan, karena mereka tinggal berpencar. Untuk mencapai tempat tinggal Kutanegara, dari kota Wageningen harus menggunakan bus ke kota Ede selama 30 menit dan ganti naik Kereta api ke selatan kota Arnhem selama 15 menit. Jika dari Amsterdam memerlukan waktu 2 jam untuk ke rumah Made Kuta. Jadi orang-orang Bali di Belanda perlu berjuang keras untuk bisa merayakan Galungan bersama-sama, jika mereka, orang-orang Bali, datang merayakan Galungan ke rumah Pande, menunjukkan jiwa Galungan
Untuk ngelawar ketika Penampahan Galungan, tak ada masalah di Belanda. Makanan Indonesia mudah diperoleh di Belanda. Biasanya orang-orang Bali (seperti kebanyakan orang Asia lainnya) pergi ke Toko Mint untuk mencari bahan-bahan segar terutama rempah-rempah dan sayuran seperti jahe, cabe rawit, bawang merah, bawang putih, daun pisang, atau kacang panjang, dan sebagainya. Jadi orang orang Bali bisa juga ngelawar di Belanda karena bumbu dan daging babi gampang didapat, apalagi sebagian orang Belanda mengkonsumsi daging babi.
Sebagian besar orang Bali tinggal di Amsterdam, ada 30 orang. Kebanyakan menikah dengan orang Belanda. Sebagian kecil lagi ada di Wageningen, Nijmegen dan di Utrech. Jadi kurang lebih ada 50 orang Bali di Belanda.Jumlah itu tentu berkurang karena jika mereka sudah selesai studi tentunya akan balik lagi ke Indonesia.
Darma Putra (Australia),
Widiyazid Soethama (Belanda)
Comments
Post a Comment