Aparat keamanan dituntut melakukan blokade total dan ketat dalam memerangi narkoba di Bali. Suryani mengkritik aparat yang hanya menangkap pengedar kelas teri.
Tatapan mata Ayu (bukan nama sebenarnya, 23 tahun, mahasiswa PTS di Denpasar) berbinar. Agak patah-patah tetapi pasti, ia menuturkan pendapatnya soal remaja di depan publik. Ayu menarik napas lega, saat mengakhiri pembicaraannya. Wajahnya yang tirus membiaskan keceriaan. Sebulir keringat menetes di dahinya.
Sungguh jauh berbeda dengan sosok Ayu dulu. Delapan bulan lalu, Ayu menu-tup diri dalam kelompok program pengenalan jati diri remaja. Kalaupun ditanya oleh fasilitator, hanya satu dua patah lirih, meluncur dari bibirnya yang mungil. Saat itu kepercayaan diri-nya nyaris tidak ada. Ada perasaan minder, sebagai orang yang pernah memakai salah satu jenis narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Tetapi kini rasa minder itu secara bertahap berganti dengan rasa percaya diri bergaul dengan lingkungannya.
Sayangnya, hanya sedikit yang berhasil seperti Ayu. Lainnya, dalam jumlah lebih besar, mengalami nasib naas. Mulai dari kecanduan hingga harus terbang beristirahat ke alam baka untuk selamanya.
Angka pasti remaja naas itu sulit didapat. Berapa yang menjadi korban? Berapa yang meninggal? Gejala pemakaian narkoba, ibarat gunung es di lautan. Yang terlihat hanya puncaknya yang kecil, padahal di bawahnya, kaki gunung yang luar biasa luasnya. Sebagai pembanding, untuk Jakarta saja diperkirakan ada sekitar 130.000 remaja junkies (pemakai narkoba). Bali sendiri bagaimana? “Angkanya sulit dipastikan. Tetapi berdasarkan meningkatnya pasien korban narkoba mendatangi praktik-praktik dokter, dapat disimpulkan kondisinya dapat dikategorikan lampu merah,’’ tegas Prof Dr dr LK Suryani, SpJ, yang sejak September 1999 melakukan program rehabilitasi korban narkoba. Program tersebut bekerjasama dengan Pemda Badung, jauh sebelum Polda Bali dan Pemda Bali mendeklaraskan perang terhadap narkoba.
Khusus soal deklarasi perang terhadap narkoba, Suryani berharap, Pemda dan Polda Bali tidak sebatas gebyar dan seremonial belaka. Melainkan harus ada tindakan nyata. Suryani mengkritik, aparat keamanan agar serius menangkapi bandar dan pengedar narkoba. Karena selama ini aparat keamanan terkesan hanya menangkapi para pemakai. Kalaupun yang disergap para pengedar, hanya yang tergolong kelas teri. Sementara bandarnya masih bebas berkeliaran mencari korban. “Yang diperangi dan diberantas aparat keamanan seharusnya para pengedar kakap ini. Sedangkan pemakai sebagai korban seharusnya diperlakukan sebagai keluarga yang sakit dan perlu mendapat pertolong-an,’’ saran Suryani. Ia berharap gebyar yang telah dideklarasikan Pemda Bali ditindaklajuti dengan pengalokasian dana, tenaga dan sistem untuk membantu pihak-pihak yang melakukan rehabilitasi dan upaya-upaya untuk mencari akar persoalan mendasar dari merebaknya narkoba. “Agar pemecahannya tepat,’’ alasan Suryani.
Soal akar penyebabnya, Direktur Yayasan Hati-Hati, I Nyoman Gede Sugiharta mengingatkan, umumnya pemakai narkoba remaja yang ingin tahu dan ingin mencoba.”Ada gejala trend untuk mengikuti idolanya,’’ ujar Sugiharta
Pernyataan Sugiharta berdasarkan kasus-kasus temuannya, banyak juga remaja dari keluarga harmonis yang terjebak memakai narkoba. “Dari pengakuan mereka, mulanya hanya ingin mencoba dan ingin disebut hebat oleh kelompoknya,’’ jelas Sugiharta. Ia memperkirakan ada sekitar
5.000 pemakai narkoba di Denpasar.
Dugaan Sugiharta dibenarkan salah seorang pemakai narkoba. ”Mulanya sekedar coba-coba saja. Dan diberi gratis,’’ aku Agus (bukan nama sebenarnya) yang sudah 4 tahun memakai narkoba. Sementara mantan pemakai lainnya, Ayu, enggan mengutarakan awalnya memakai narkoba. “Itu masa lalu saya,’’ ujarnya pendek sembari meminta agar tidak didesak terus dengan pertanyaan semacam itu. Ayu mengakui apa yang diutarakan Agus ada benarnya. Dari 5000 pemakai di Denpasar, Sugiharta memperkirakan sekitar 45% adalah remaja berusia di bawah 22 tahun. “Bahkan saya pernah dilapori ada kasus yang menimpa anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP kelas II,’’ papar Sugiharta.
Besarnya remaja yang terjebak memakai narkoba, menurut Sugiharta, tidak le-pas dari kondisi psikologis remaja. Remaja umumnya mencari kebebasan dirinya untuk mandiri. Simbol kemandirian dan pemberontakan itu antara lain dengan merokok, minum-minum hingga mamakai narkoba. Untuk itu salah satu upaya menanggulanginya adalah membangun citra pada remaja bahwa kalau berhenti dari memakai narkoba itu le-bih hebat dari pada memakai. “Untuk itu tokoh panutan atau idola remaja perlu ikut mengkampa-nyekannya,’’ saran Sugiharta dengan tetap mendorong agar keinginan untuk memberantas itu datang dari diri remaja sendiri.
Selain itu keberadaan panti rehabilitasi sangat diperlukan, disamping penegakan hukum terhadap pengedarnya. Sedangkan untuk menanggulangi masalah narkoba, menurut Suryani, terletak pada upaya pencegahannya. Salah satu upaya tersebut adalah keberanian aparat keamanan melakukan blokade secara total dan ketat terhadap pintu-pintu masuk pengedar narkoba ke Bali. Pintu-pintu masuk itu antara lain bandara Ngurah Rai, pelabuhan Benoa, Gilimanuk, dan Padangbai. Hal ini harus dilakukan secara terus menerus selama sebulan. Tindakan ini diikuti dengan razia besar-besaran menyisir Pulau Bali sampai ke desa-desa. Bersamaan dengan itu perlu dilakukan penyembuhan bagi korban-korban narkoba.
Dalam tahap penyembuhan ini peran keluarga si pemakai sangat penting. ‘’Karena sering kegagalan penyembuhan total akibat kekurangsabaran pihak keluarga,’’ jelas Suryani. Karena itulah dalam program rehabilitiasi yang dirintisnya, Suryani juga memasukkan faktor pembinaan pada anggota keluarga dan cara-cara spiritual, di samping cara-cara yang konvensional.
Tahapan rehabilitasi yang diprogramkan Suryani adalah tahapan detoksifikasi selama dua minggu. Kalau pemakai dapat melewati hal ini maka dilanjutkan dengan program rehabilitasi selama tiga bulan. Dalam tahapan ini si pemakai secara bertahap dikembalikan pada lingkungan keluarganya di rumah. Pada tahap ini pula konsep spiritual dimasukkan. Bentuknya adalah dengan meditasi.
Melalui meditasi maka akan dapat dicapai keseimbangan. Dalam kondisi seimbang, tubuh dapat mengobati dirinya de-ngan semua sistem di dalamnya. Dengan begitu akan muncul harapan untuk menanggulangi terjadinya kerusakan. ‘’Karena narkoba menyerang dan merusak otak, maka melalui meditasi yang coba diobati adalah bagaimana memperbaiki sel-sel di sekeliling otak, agar dapat mengambil alih fungsi otak,’’ jelas Suryani. Sel-sel otak yang sudah rusak karena narkoba tidak dapat diperbaiki lagi. Dengan cara ini ke-rinduan untuk memakai narkoba dapat dihindari. “Jadi proses penyembuhannya, seperti membangun anak kecil baru,’’ ujar Suryani mengambil perumpamaan.
Tubuh Seperti Ditarik ke Dalam
Keluarga harmonis bukan jaminan bebas dari penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba). Setidaknya hal itu dialami Agus (bukan nama sebenarnya). Datang dari keluarga yang harmonis, Agus (23 tahun) termasuk salah seorang pemakai putauw.
“Saya memakainya sejak SMA,’’ tutur Agus pada SARAD di Denpasar. Ia terlibat pemakaian narkoba, bukan karena problem keluarga. “Mulanya sekadar coba-coba,’’ ungkapnya ringan. Saat itu, di tahun 1995, Agus diperkenalkan oleh temannya, pada seseorang. “Ketika itu saya ditawari mencoba putauw, gratis,’’ kenang Agus yang mengaku awalnya sempat ragu. Namun karena bujukan temannya, Agus mencobanya. “Pertama seperti mau muntah. Tetapi lama-lama asyik,’’ tutur Agus. Ia mengaku terbujuk karena penasaran melihat teman-temannya ketika sedang fly. Saat fly, teman-temannya terlihat asyik.
Sejak itu pelan-pelan Agus semakin tergantung pada putauw. Tidak hanya putauw, beragam jenis narkoba pernah dicobanya. Di antaranya ganja dan heroin. Semua itu harus dibayar mahal. Satu per satu barang-barang miliknya dijual. Uangnya dipakai untuk membeli putauw. “Pokoknya otak ini sudah jahat rasanya. Apa saja dijual untuk mendapatkan putauw,’’ sesal Agus. Sampai saat ini orang tuanya tidak tahu kalau dirinya telah kecanduan narkoba.
Pernah Agus mencoba berhenti memakai selama dua minggu. Akibatnya, Agus merasakan badannya sakit semua. “Ada perasaan takut. Sakit. Seluruh tubuh seperti ditarik ke dalam. Mau tidur susah. Rasanya pingin mengamuk saja,’’ akunya. Bila kerinduan akan putauw sedang menyerangnya, menurut Agus, dalam otaknya hanya ada satu pikiran, bagaimana mendapatkan obat itu. “Tak penting caranya bagaimana. Pokoknya dapat!’’ tegas Agus.
Walaupun demikian Agus tetap mencoba untuk keluar dari “lingkaran setan” tersebut. Sudah tiga kali ia mencoba menghentikannya. Salah satu dorongan untuk berhenti, karena ia takut pada orang tuanya. “Saya takut diusir dan takut over dosis,’’ keluhnya. Berkat kemauan kerasnya, kini Agus mulai agak berkurang ketergantungannya pada narkoba dibandngkan sebelumnya. Soal harapannya bagi rekan-rekan sesama remaja, Agus tidak berharap muluk-muluk. “Saya tidak melarang. Tetapi kalau bisa jangan ikuti saya. Mulanya nikmat akhirnya sengsara dan menyakitkan,’’ pesan Agus.
Ananta Wijaya
Comments
Post a Comment