Lamak sablon kian membanjiri pasar Bali. Tak hanya untuk keperluan sehari-hari, saat Galungan pun ada yang mengunakan “lamak palsu” ini. Selain karena alasan gampang diperoleh, juga murah dan tahan lama. Apakah dibenarkan mempersembahkan “lamak-lamakan” ini?
Hari Galungan di awal tahun 2000 ini tak membikin Komang Tatiek Laksmini, 28 tahun, repot. "Saya tak perlu lagi nyahit lamak. Sudah ada lamak sablon. Gampang. Murah, dan bisa disimpan untuk enam bulan lagi," celoteh ibu satu anak ini, enteng. "Malah sehari-hari saya gunakan lamak sablon, biar palinggih tampak meriah," imbuhnya.
Bagi wanita asal Karangsem ini, lamak sablon memang jalan pintas yang menjanjikan kemudahan. Tinggal sabet di kios-kios, serahkan duit. Semuanya beres. Sebagai wanita karier dengan jabatan sebagai sekretaris direksi perusahaan ekspor-impor, hari-hari Komang padat kegiatan rutin. Di rumah dia harus mengurusi bocahnya. Belum lagi diwajibkan menyisakan waktu buat suami yang bekerja sebagai manajer sebuah bank swasta nasional. Maklum, meski tinggal di rumah tipe 180, pembantunya cuma satu. "Tak ada waktu lagi membikin lamak, seperti ibu-ibu di kampung," dia meyakinkan.
Beres? Kalau cuma sekadar lengkap, semua pula-pali berkaitan dengan hari Galungan, sudah dipenuhinya, memang. Toh, sebagai wanita yang dibesarkan dalam tradisi desa nan kental di Bali timur, Komang tetap saja mengeluh. "Jujur saja, hati saya kurang sreg menggunakan lamak sablon. Di lubuk hati terdalam saya sebenarnya rindu juga menggunakan lamak Bali dari ron. Bahkan, ingin membikin. Tapi, itu tadi, tak ada waktu," ia menyibakkan rambutnya. Kurang sreg itu pula dijadikan alasan Dayu Andayani tak memilih lamak sablon saat Galungan. "Lamak sablon memang bisa dipakai lebih daripada sekali, tapi hati ini rasanya tidak sreg. Kok pelit sekali kepada Batara, sih? Masak maturan dengan lungsuran, lamak bekas. Galungan kan cuma enam bulan sekali," kelit wanita asli Denpasar ini.
Bila alasannya repot, Dayu Andayani lebih memilih membeli lamak alami daripada yang sablonan. Tapi, "Sedapat mungkin saya membuat. Biar puas sambil melatih kesabaran, menenangkan pikiran. Majejahitan itu justru menghilangkan stres," tuturnya.
Bagi pengamat jejahitan Bali, Ida Ayu Putu Surayin, boleh-boleh saja orang menggunakan lamak sablon, termasuk saat Galungan. "Larangan soal itu belum pernah saya temukan dalam lontar," tandasnya. Cuma, semua dikembalikan lagi kepada rasa masing-masing bakta (umat) yang bakal mempersembahkan lamak itu. "Bila tidak sreg, ya, jangan dipaksakan. Ini kan soal rasa," imbuhnya.
Dia sendiri mengaku tak begitu suka menggunakan lamak sablon. Jangankan membeli yang sablonan, bahkan membeli lamak tradisional yang terbuat dari ron (daun enau tua) dan ambu (daun enau muda) pun ia tak begitu doyan. Meskipun mudah diperoleh dan bisa disimpan lama, namun lamak sablon baginya tetaplah tidak indah. Sedangkan, kalau membeli lamak tradisional ia merasa tak puas. Baginya membuat jauh lebih nikmat daripada membeli. "Mungkin karena hobi saya majejahitan, sehingga bisa merasakan kenikmatan tersendiri saat majejahitan," terangnya.
Lamak secara tradisi di Bali umumnya dibuat dari ron yang berwarna hijau sebagai dasar. Lalu, hiasannya menggunakan ambu.berwarna kuning bersih. Pertimbangan mudahnya, kata Surayin, karena ron dan ambu lebih tahan lama dibandingkan dengan janur. Bagi pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Badung, Drs I Gusti Ngurah Oka Supartha, hiasan-hiasan lamak sebenarnya ada makna simboliknya. "Lamak itu simbolik jembatan bagi Tuhan untuk turun ke bumi memberikan karunia kesejahteraan bagi manusia dan isi alam lainnya," ungkapnya.
Karena itu, lanjut Ngurah Oka Supartha, lamak bentuknya panjang. Sedangkan yang lebih pendek, sebagaimana digunakan umumnya saat Galungan di merajan atau sanggah-sanggah, dinamakan ceniga. Makna dan kegunaannya sama saja antara lamak dengan ceniga. Cuma, yang mesti dipahami, hiasan-hiasan dalam lamak maupun ceniga itu sebenarnya terpola berlapis-lapis dari atas sampai di bawah. "Semuanya melambangkan alam semesta dengan isinya ini," paparnya.
Hiasan di lapisan bagian atas lamak, kata penekun dan penulis budaya Bali ini, biasanya berupa simbolik benda-benda langit. Misalnya, bintang, matahari (surya), bulan (candra). Lalu, di lapisan tengahnya ada hiasan cili yang melambangkan manusia di tengah alam semesta. Di bawahnya ada hiasan yang melambangkan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dari gambaran demikian, lamak jelaslah bukan sekadar hiasan pelengkap, melainkan sebuah karya kreatif yang indah dan penuh makna. Lamak melambangkan alam semesta yang terdiri dari panca mahabhuta, yakni: unsur padat (pratiwi), cair (apah), sinar (teja), angin (bayu) dan eter (akasa). Perihal lamak demikian, bisa dicermati dalam lontar Yadnya Prasti. Juga, bisa disimak dalam hasil keputusan kesatuan tafsir pertama aspek-aspek agama Hindu tahun 1975 yang diselenggarakan di Karangasem oleh PHDI Pusat bersama Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Karenanya, "Lamak tidak dibikin iseng-isengan. Jangan ngendah-ngendah," cetusnya.
Lantas, bagaimana dengan lamak sablon? Ngurah Oka Supartha mengakui tak ada larangan, memang, bagi umat Hindu mengikuti perkembangan zaman. Cuma, dia mengingatkan, semestinya dalam setiap persembahan tetap didasarkan pada patokan sebagaimana disuratkan dalam Pancama Weda atau Bhagawadgita. Kitab Gita menggariskan, persembahan mesti mengandung unsur-unsur daun (patram), bunga (puspam), buah (palam), dan toyam (air). "Ini mengisyaratkan dan mempersyaratkan persembahan sedapat mungkin hal-hal yang alami, bukan yang palsu," tegasnya.
Pada persembahan berupa lamak tradisional, unsur yang menonjol adalah patram, daun enau berupa ron dan ambu. "Kalau kini digunakan lamak sablon, mana unsur alaminya? Tak ada patram alami sekalipun," sergahnya.
Di mata Ida Ayu Putu Surayin, budaya Bali kini memang sudah bolong-bolong. Karena alasan ingin mudah, tak punya waktu, dan lelah, orang lebih cenderung membeli daripada membuat. "Ini akibat iyusan gumi (pengaruh zaman) yang akhirnya memunculkan sifat mau enaknya saja, main gampangnya saja," sebutnya.
Padahal, dalam keyakinan Dayu Sura-yin, "Inti makna persembahan itu adalah bagaimana orang itu mempersembahkan subakti-nya masing-masing, karena apa yang ia persembahkan kehadapan Hyang Widhi, itulah yang akan Hyang Widhi berikan kembali padanya."
Orang semacam Surayin mengaku sangat bahagia bisa mempersembahkan sesuatu yang memiliki daya tarik, keindahan ataupun keagungan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Maka, kalaupun akhirnya orang menggunakan lamak sablon, itu mungkin sebagai wujud subakti yang bersangkutan kepada Hyang Widhi. "Cuma saya belum cocok saja mempersembahkan yang modern seperti itu karena bagi saya itu mengurangi keagungannya," tegas wanita kerier yang doyan majejahitan ini.
Ada alasan lain. Kalau persembahan nonalami yang serba sablonan ini makin marak digunakan, maka keinginan melestarikan alam pun kian surut. Yang lebih memprihatinkan, seni ornamen Bali yang simbolik pun akan kian punah. Orang Bali menjadi kurang kreatif dan kurang terampil berkesenian. Istilah Balinya, "Astagina itu akan tak ada lagi," wanti-wanti Oka Supartha.
Ni Made Wawi Adini, KS
Lamak Sablon, Banyak Peminatnya
Pertengkaran tak mesti harus berakhir dengan prahara. Ia bisa berbiak jadi keberuntungan. “Saya membuat lamak sablon karena capek bertengkar dengan pedagang lamak di pasar soal harganya yang mahal,” ujar Ketut Sarda, laki-laki kelahiran 1953.Meski lamak diurus wanita, Sadra sering kebagian tugas membantu istri melengkapi kebutuhan kelengkapan hari raya. Saat tawar-menawar dengan penjual lamak itulah si pedagang lamak marah, karena Sadra menawar terlalu murah. ‘’Kalau begini terus lebih baik saya buat lamak sendiri,” kata hatinya kesal.

Untuk pemilihan bentuk Sarda tetap berpegangan pada budaya Bali. ‘’Lamak kain sablon justru terkait erat dengan tigasan dan rantasan yang biasa dipergunakan di Bali,’’ tegasnya. Penggunaan unsur kain dalam pengamatan anak seorang Mangku Dalem Sukawati ini justru serasi dengan kesatuan palinggih yakni wastra palinggih dan ider-ider. Baginya penggunaan kain sebagai pengganti janur ataupun ron tidak mengurangi makna kesucian lamak. Yang ia lakukan adalah menyiasati keadaan. ‘’Lebih ke langkah praktis. Lamak sablon ini bisa dipergunakan untuk tiga kali rahinan’’ jelasnya. Harganya rata-rata Rp 1.000 per lembar.
Sarda yakin, yang ia kerjakan tidak menyimpang dari konsep agama. ‘’Tolong carikan saya lontar yang melarang penggunaan lamak sablon,’’ tantangnya.”Parisadha juga tak melarang. Kalau dilarang sastra agama, saya hentikan usaha ini.”
Kini banyak yang mengikuti jejak Sarda. Tak kurang dari sepuluh produsen lamak sablon tersebar di Sukawati dan Batuan, Gianyar. Sementara Sarda tetap menganggap bisnisnya adalah usaha kecil-kecilan, meskipun ia selalu kebanjiran pesanan. Ia dibantu 8 pekerja, semuanya masih sekolah. ‘’Usaha ini sepi di modal dan ramai di orderan,’’ kelakarnya, menyindir kesulitannya mendapatkan pinjaman dari bank, ”Sehingga saya terpaksa pinjam ke rentenir,” akunya.
Jung Iryana
Comments
Post a Comment