Oleh : Jung Iryana, Ananta Wijaya, I Ketut Sumarta
Tawur Agung Baligya Marebhu Bhumi patut dipersembahkan pada Tilem Kasanga, 1 April 2079 nanti, sebagai pertanda mulainya milenium 2000 Saka di Bali. Namun sejauh ini belum ditemukan sumber-sumber yang membahas secara rinci tentang tata cara pelaksanaan upacara ini. Dari mana harus dimulai?
Orang Bali jangan milu-milu (ikut-ikutan) milenium. Inilah nasihat sekaligus kritik yang dilontarkan K Kebek Sukarsa di tengah-tengah gempita orang-orang membicarakan pergantian tahun 1999 ke tahun 2000 Masehi. Mantan Ketua Ikatan Penyusun Kalender Bali ini merasa sesak dengan salah kaprah penggunaan kata milenium, tak terkecuali di Bali. "Orang Bali kok latah-latahan bilang milenium, padahal itu jelas-jelas datang dari Barat," tuding Kebek.
Suka tidak suka, begitulah panorama senyata-nyatanya. Kebanyakan orang kini tersihir kata milenium itu.Tak cuma di kota, tapi juga hingga pelosok-pelosok desa. Lihat saja, ada sandal milenium, ada pula diskon milenium, detergen milenium. Ada gebyar milenium, ada pula sirkus milenium sampai motor milenium. Kalau di Denpasar ada pameran milenium, di desa-desa daa teruna pun menggelar basar milenium. Pekak dan dadong-dadong pun tak mau kalah menyebut milenium, meskipun sering terpeleset menjadi alumenium, malahan sesekali jadi meliminum.
Padahal, milenium berarti 'seribu tahun' atau 'tahun ribuan'. Berasal dari kata Latin mille (seribu) dan annus (tahun), millenium dalam bahasa aslinya juga berarti bilangan tahun kelipatan seribu. Selain itu, juga berarti periode waktu yang berumur seribu tahun. Karenanya, Milenium I mulai tahun 0001 sampai tahun 1000, sedangkan Milenium II mulai tahun 1001 sampai 2000. Jadi, akhir tahun 2000 atau awal tahun 2001 nanti sebenarnya baru mulai abad ke-21 sekaligus awal Milenium III. Tepatnya, 1 Januari 2001.
Kalender Bali yang mengikuti Tahun Saka, kata Kebek Sukarsa, tak mengenal hitungan milenium atau ribuan. Hitungan maksimalnya hanya sampai 100 tahun. Artinya, saban 100 tahun kalender Bali kembali ngawindhu, kembali dilakukan penataan ulang dalam sisten perhitungan kalender Bali untuk 100 tahun ke depan lagi. Demikian seterusnya, saban 100 tahun sistem perhitungan kalender Saka-Bali yang berdasarkan Tahun Surya, Tahun Candra, dan Tahun Wuku ini ditata kembali, terutama dilakukan penyesuaian untuk menghitung purnama-tilem dengan tepat untuk 100 tahun ke depan. Karena itu, penataan ini biasanya dilakukan menjelang Eka Dasa Rudra yang jatuh 100 tahun sekali. Jadi, "Seribu tahun itu artinya 10 kali Eka Dasa Rudra," tandas Kebek.
Berdasar hitungan demikian, Kebek menemukan, setelah upacara Eka Dasa Rudra tahun 1979 (= tahun 1000 Saka) lampau, maka upacara tawur serupa bakal digelar lagi pada Sabtu-Umanis, wuku Tolu, tanggal 1 April 2079 nanti. Bersamaan dengan Tilem Kasanga (Caitramasa,bulan kesembilan) tahun Saka-Bali. Esoknya, Minggu-Paing, wuku Gumbreg, tanggal 2 April 2079 dilangsungkan hari suci Nyepi, sebagai Tahun Baru 2001 Saka.
Ketua I Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, IBG Agastia, memaparkan, Tahun Baru Saka dimulai 22 Maret 79. "Inilah tanggal 1, bulan 1, tahun 1 Saka," ungkapnya. Yang menarik, sehari sebelum Tahun Baru 1 Saka, yakni pada 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam gerhana matahari total. Ini berarti saat tersebut bertepatan benar dengan Tilem. "Tahun Baru Saka ditetapkan Raja Kaniskha pertama-tama memang berdasarkan wawasan kesejagatan, dengan menjadikan matahari dan bulan sebagai perhitungan," tandasnya.
Berkaitan dengan itu, lanjut Agastia, sumber-sumber sastra di Bali menyebutkan, manakala tahun Saka berakhir dengan windhu (= 10 tahun sekali), seperti tahun 1920 Saka pada 17 Maret 1999 lalu, di Bali digelar upacara tawur Panca Bali Krama. Sedangkan bila tahun Saka berakhir dengan dua windhu atau windhu turas (= 100 tahun sekali), seperti tahun 1900 Saka pada Rabu-Paing wuku Julungwangi, 9 Maret 1979 lalu, digelar tawur Eka Dasa Rudra di bencingah agung Pura Besakih. Tawur pada hakikatnya merupakan upacara bhuta yajna, yang bertujuan menyeimbangkan kembali lima unsur alam semesta, yakni bumi (pretiwi), air (apah), sinar (teja), angin (bayu), dan eter (akasa).
Setahun sebelum Eka Dasa Rudra wajib dilangsungkan upacara Candi Narmadha dan Panca Bali Krama ring Danu. Ini sebagai simbolik penyucian air, karenanya upacara ini digelar di segara dan danau sebagai sumber air. Namun karena saat Eka Dasa Rudra 1979 lampau belum ditemukan sumber sastranya, Candi Narmadha dan Panca Bali Krama ring Danu pun tak sempat digelar. Baru pada 1993 upacara ini diselenggarakan, masing-masing Candi Narmadha di segara Klotok (Klungkung) dan Panca Bali Krama di Danau Batur (Bangli) tanggal 21 Maret. Sebetulnya, setahun setelah Candi Narmadha baru dilangsungkan Eka Dasa Rudra. Setelah itu patut dirangkaikan dengan upacara Tribhuwana setahun kemudian, dan Ekabhuwana tahun berikutnya. Ini simbolik proses yoga yang menarik 11 (eka dasa) arah (delapan arah angin ditambah tiga di tengah, yakni bawah, tengah, dan atas) kekuatan Tuhan, lalu menguncupkannya menjadi tiga (tri), dan akhirnya tunggal (eka).
Lantas, bagaimana bila tahun Saka berakhir dengan tiga windhu atau tiga nol (windhu tiga), saban seribu tahun? "Saat itu dihaturkan upacara tawur yang dinamakan Baligya Marebhu Bhumi," tandas IBG Agastia. Sebagaimana dengan Panca Bali Krama dan Eka Dasa Rudra, Baligya Marebhu Bhumi ini pun wajib dilangsungkan bersamaan dengan Tilem Caitra, yakni saat bulan mati ketika matahari dan bulan tegak lurus di atas garis katulistiwa –garis yang membelah bumi. "Upacara ini nantinya akan dilaksanakan sehari sebelum umat Hindu memasuki Tahun Baru Saka yang disebut Hari Nyepi, tanggal 1 bulan Waisaka," paparnya.
Dalam pandangan Ketua Umum PHDI Bali, Ida Pedanda Gede Made Gunung, upacara Baligya Marebhu Bhumi pada hakikatnya merupakan upacara pembersihan atau penyucian alam yang sangat besar. Atau, tawur terbesar. "Mencakup tribhuwana, alam bawah, tengah, dan atas," papar Pedanda Gunung. Dalam dimensi diri pribadi, upacara ini mengingatkan agar setiap orang membersihkan dirinya sendiri lahir batin maupun mental, dengan tapa, brata, yoga, semadhi.
Mantan Ketua Umum PHDI Pusat yang kini bergelar Ida Pedanda Gede Pidada Punia Atmaja maupun Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Geria Aan, Klungkung, bersepakat, Baligya Marebhu Bhumi patut dilangsungkan ketika tahun 2000 Saka nanti. Juga disepakati upacara ini merupakan pembersihan atau penyucian alam semesta.
Tapi, bagaimanakah upacara Baligya Marebhu Bhumi ini secara rinci patut dilaksanakan?
Sayangnya, sampai majalah SARAD ini naik cetak belum ada jawaban pasti. Berbagai narasumber yang ditemui Tim SARAD mengaku belum menemukan petunjuk rinci tentang upacara ini. "Saya belum pernah membacanya, juga belum pernah menyaksikannya," ujar Ida Bagus Putu Windia, 80 tahun. Mantan Pengurus PHDI Bali ini merupakan salah satu saksi kunci penyelenggaraan Eka Dasa Rudra tahun 1963 lalu di Besakih, bersamaan dengan meletusnya Gunung Agung.
Mungkinkah Baligya Marebhu Bhumi pernah digelar pada tahun 1079 Saka atau 1000 Saka? Belum ditemukan data pasti. Satu hal yang sudah jelas dicatat para penulis sejarah Bali, semasa pemerintahan wangsa Warmadewa di Bali paham Hindu dan Budha tumbuh subur, memang. Kebebasan beragama pun disebut-sebut sangat dihormati. Bahkan kemudian tercatat ada enam sekte besar agama berkembang saat itu, hingga kemudian dipersatukan menjadi hanya tiga (Tri Murti) oleh Mpu Kuturan semasa pemerintahan Sri Dharmodayana Warmadewa bersama permaisuri Gunapriya Dharmapatni (988-1011). Jadi, semestinya tahun 1079 sekte-sekte di Bali tidak banyak lagi.
IBG Agastia dalam Panca Bali Krama (Penjelasan Singkat) yang diterbitkan untuk menyambut upacara Panca Bali Krama, 17 Maret 1999, di Besakih hanya sempat mencatat Eka Dasa Rudra pertama kali dilangsungkan di Besakih semasa pemerintahan Raja Waturenggong—dengan pusat kerajaan di Gelgel. Upacara ini disebutkan berlangsung atas petunjuk Dang Hyang Nirartha yang juga sebagai yajamana, pemimpin penyelenggaraan upacara. Cuma, tak dipastikan tanggal berapa tepatnya upacara tersebut digelar. Catatan yang ada menunjukkan, Dang Hyang Nirartha datang ke Bali tahun 1510. Tapi, bagaimana dengan Baligya Marebhu Bhumi yang dalam lontar Kala-tattwa disebutkan bisa memberi karahayuan sepanjang hayat manusia (yania arebhu bhumi sapanyenengan pangraksanya)?
Lagi-lagi, belum ada jawaban. Logikanya, bila Eka Dasa Rudra saja pertama kali dilakukan semasa Waturenggong yang memerintah Bali tahun 1460-1550 dengan paham Hindu Siwaisme-nya, besar kemungkinan Baligya Marebhu Bhumi memang belum pernah dilangsungkan. Karenanya, harap maklum saja, jangan coba-coba mengutak-atik bagaimana kalau tahun Saka nanti berakhir dengan empat windhu, empat nol, seperti tahun 10000 Saka, atau tahun 10079 Masehi nanti. Upacara apakah yang mesti digelar? Soalnya, untuk yang 79 tahun mendatang pun belum ditemukan petunjuk-petunjuk yang jelas, apalagi untuk 8079 tahun lagi!
Catatan perihal Eka Dasa Rudra yang rada komplit hanya mencakup tahun 1979. Padahal, logikanya, setiap tahun Saka berakhir dua windhu (windhu turas) atau dua nol mesti digelar Eka Dasa Rudra. Itu berarti, sebelum 1979 sepatutnya juga ada catatan pelaksanaan karya agung ini untuk tahun 1879 (1800 Saka), 1779 (1700 Saka), 1679 (1600 Saka), 1579 (1500 Saka), dan seterusnya. Adakah Eka Dasa Rudra semasa Raja Waturenggong digelar tepat tahun 1479 (= 1400 Saka)? Perkiraan ini tampaknya tak akurat, karena catatan menunjukkan Dang Hyang Nirartha sendiri menginjakkan kakinya di Bali tahun 1510. Kalau benar pendeta berjuluk Pedanda Sakti Wawu Rawuh ini sebagai yajamana Eka Dasa Rudra di Besakih, kemungkinan terbesar karya agung ini digelar antara 1510-1550. Itu berarti saat tersebut tidak tepat benar dengan jatuhnya tahun 1500 Saka.
Dalam tradisi Bali, itu dibenarkan saja. Namun, Eka Dasa Rudra yang tidak bertepatan dengan kelipatan seratus tahun Saka namanya mesti diimbuhi dengan kata paneregteg. Maksudnya, yajna atau upacara tersebut digelar karena alasan sudah lama tidak pernah dilangsungkan, meskipun tidak sesuai dengan sistem penghitungan yang berlaku. Karya paneregteg Eka Dasa Rudra, misalnya, tercatat pernah dilangsungkan Jumat-Pon, wuku Julungwangi, 9 Maret 1963 silam. "Upacara tersebut atas inisiatif Gubernur Bali Suteja saat itu, yang juga didukung Raja Klungkung," jelas saksi kunci saat itu, Ida Bagus Putu Windia.
Selebihnya, memang tak ada catatan-catatan rinci. Bahkan, Eka Dasa Rudra tahun 1963 yang sudah dilangsungkan pada era modern pun tak ada catatan tertulisnya, kecuali hanya cerita lisan orang per orang yang kebetulan terlibat di dalamnya. Padahal, di Bali ketika itu sudah ada surat kabar harian. Kehidupan cetak-mencetak pun ada. Tapi, tetap saja peristiwa bersejarah itu luput dari catatan. Makanya, tak ubahnya mencari sebatang jarum di tumpukan pasir bila berharap dapat data tertulis rinci tentang Baligya Marebhu Bhumi tahun 1079 lampau.
Lantas? Karena Baligya Marebhu Bhumi sudah disebutkan sebagai persembahan tawur terbesar, tertinggi, maka Ida Pedanda Gede Putra Tembau mengingatkan agar mulai kini diambil langkah-langkah persiapan. "Kita yang hidup sekarang ini wajib mempersiapkan dan menyediakan dasar-dasar yang patut bagi generasi mendatang," ungkap Ida Pedanda.
Generasi kini, urai Ida Pedanda, seyogyanya tak egois dengan pertimbangan mungkin tak masih hidup tahun 2079 nanti. Artinya, mungkin tak turut menyaksikan langsung upacara Baligya Marebhu Bhumi karena sudah meninggal sebelum upacara itu digelar. Namun, "Kita harus tetap mayajna untuk generasi mendatang. Beliau-beliau yang menulis lontar Eka Dasa Rudra mungkin saja tak mengalami pelaksanaan Eka Dasa Rudra sekali pun, toh beliau tetap subakti dan lascarya (ikhlas) menyusunnya secara jelas demi generasi berikutnya, termasuk generasi kita kini yang sempat mengalami langsung karya agung Eka Dasa Rudra," tandas Pedanda Gede Putra Tembau.
Langkah ke arah penyusunan rinci karya agung Baligya Marebhu Bhumi, 1 April 2079, nanti, menurut Ida Pedanda Putra Tembau, mestinya tak terbatas cuma dilakukan oleh Parisada. Siapa saja yang peduli terhadap kelangsungan Bali dan generasi mendatang perlu urun rembug. Tahap pertama, sejak hari ini bisa dimintakan kepada semua sulinggih, para pemuka adat semua kabupaten di Bali, dan pihak-pihak yang peduli untuk menggali naskah-naskah lontar serta sumber-sumber tertulis lainnya. Dari hasil penyusuran sumber-sumber tertulis ini kemudian diadakan pertemuan-pertemuan mulai dari tingkat kecamatan, lalu per kabupaten, hingga antarkabupaten se-Bali. "Dalam pertemuan-pertemuan itulah sumber-sumber tertulis dan kajian-kajian terhadap sumber itu didiskusikan, dirumuskan, sehingga menjadi satu pedoman baku," lanjut Ida Pedanda.
Tak perlu dipertentangkan, apalagi dikhawatirkan, apakah generasi yang hidup pada 2079 nanti akan menjalankan pedoman itu ataukah tidak. "Tugas kita yang hidup sekarang inilah meletakkan dasar yang baik bagi generasi mendatang," wanti-wantinya.
Banyak pertanyaan, memang, perlu didiskusikan berkaitan dengan rincian Baligya Marebhu Bhumi bertepatan dengan tahun 2000 Saka, 79 tahun lagi. Tak cuma dalam aspek upakara dan upacaranya. Dalam aspek susila (etika) dan tattwa-nya pun perlu pengkajian lebih mendalam dan lebih luas. Kebek Sukarsa, misalnya, malah mengaku masih ragu: apakah 1 April 2079 nanti tidak cukup dilangsungkan Eka Dasa Rudra saja mengingat kalender Bali yang bersiklus 100 tahunan, tanpa mengenal hitungan milenium?
Dalam aspek teknis, Ida Pedanda Gede Putra Tembau mengaku masih menimbang- nimbang, berapa jumlah sanggar yang bakal digunakan dalam Baligya Marebhu Bhumi? Panca Bali Krama menggunakan lima sanggar sebagai simbolik pemujaan terhadap empat kemahakuasaan (cadu-sakti) Hyang Widhi yang menguasai lima penjuru alam semesta (utara, timur, selatan, barat, dan tengah). Wujud nyatanya di Bali, saat Panca Bali Krama 17 Maret 1999 lalu, empat pralingga Ida Batara yang dipuja di empat pura penjuru utama, yakni Pura Batur (utara), Lempuyang (timur), Andakasa (selatan), dan Watukaru (barat) didatangkan ke Penataran Agung Besakih. Nah, saat Eka Dasa Rudra menggunakan 11 sanggar sebagai simbolik pemujaan terhadap delapan kemahakuasaan (asta-sakti) Hyang Widhi yang menguasai seluruh penjuru semesta ditambah dengan tiga di pusat dengan tiga tingkatan vertikal, yakni bawah (Siwa), tengah (Sada-Siwa), dan atas (Parama-Siwa). Laku nyatanya, delapan pralingga Ida Batara di delapan pura sad kahyangan kembali menyatu di Penataran Agung Besakih sebagai pusat jagat spiritual Bali.
Tapi, berapa sanggar mesti digunakan saat Baligya Marebhu Bhumi? Apakah juga 11 sebagaimana Eka Dasa Rudra? Atau, cuma satu sebagaimana Ekabhuwana? Atau malahan sahasra, seribu atau ribuan, sesuai dengan falsafah sahasra-dala (seribu daun) kemahakuasaan Hyang Widhi? IBG Agastia memang menawarkan sahasra-dala. Demikian juga dengan Ida Pedanda Gede Made Gunung sepakat dengan sahasra. Namun, "Bagaimana kita mesti mengartikan sahasra-dala itu dalam wujud nyatanya nanti? Apakah seribu sanggar dengan seribu pralingga dikumpulkan di Penataran Agung Besakih, atau beribu-ribu, atau semua pralingga yang ada di semua pura yang ada di Bali dikumpulkan di Besakih?" tanya Ida Pedanda Gede Putra Tembau, hati-hati.
Tawaran tafsiran dilontarkan Ida Pedanda Gede Made Gunung. Sahasra, katanya, barangkali bisa diartikan, semua pralingga di seluruh pura sad kahyangan, kahyangan jagat, termasuk di Jakarta, Surabaya, Lampung dan lain-lain tedun berkumpul di Besakih. "Secara sosial bisa diartikan semacam reuni di Besakih, sebab Besakih dinilai sebagai pusat pura kahyangan jagat di Indonesia," jelasnya.
Jalan diskusi menuju perumusan pedoman Baligya Marebhu Bhumi masih terbentang panjang, memang. Sumber-sumber pustaka pun terbuka untuk dibaca, dikaji, dikumpulpadukan jadi satu pedoman. Lontar Tutur Aji Kunang-kunang, misalnya, sempat menyuratkan: "…yan ya ngamanggehang karya maligya marebhu bhumi, apulang pakelem ring segara catur, pur kebo 5, dha 5, u 5, pa 5, ring gunung agung 5, ring sapta patala 5, ring luhuring akasa 5, ring danu batur 5, ring danu bratan 5, ring kentel gumi 5, samiaidan."

"Para tukang banten umumnya sudah langsung mengetahui runtutan upacara dan sarananya bila jumlah hewan kurbannya sudah dipastikan," jelas Ida Pedanda Putra Tembau.
Tapi, begitu banyak? Ini, tentu, belum final. Penafsiran demikian tetap masih terbuka dan menarik didiskusikan. Misalnya, apakah cakupan praktik pelaksanaan Baligya Marebhu Bhumi sebatas hanya di jagat Bali, ataukah juga melingkup sampai se-Indonesia, atau malah sejagat sehingga kurbannya begitu besar angkanya? Ba- nyak pertanyaan, banyak faktor, membutuhkan kajian sungguh-sungguh dan mendalam bila ingin membuat panduan rinci pelaksanaan karya agung ini.
"Faktor-faktor kemungkinan berkaitan dengan kelangsungan budaya Bali 79 tahun lagi pun tak bisa diabaikan begitu saja, meskipun saya optimis generasi Bali saat itu nanti tetap akan mampu melaksanakan upacara ini, mengingat kecenderungan makin sadarnya generasi muda Bali kini terhadap agama dan kebudayaannya," papar Ida Pedanda Gede Pidada Punia Atmaja. Adakah Anda juga peduli pada persoalan ini?
Comments
Post a Comment