Dupa buatan Bali masuk pasar internasional, bersaing dengan dupa dari India dan Thailand, pemasok utama kebutuhan dupa dunia. Tapi bahan dasar dupa masih didatangkan dari Jawa. Tak ada sembahyang di Bali tanpa dupa. Orang Bali membuka kemasan dupa, mengeluarkannya dari bungkus plastik, sama sigapnya dengan mengambil kembang, menjepitnya di ujung jari cakupan tangan, ketika mabakti. Dupa menjadi bagian utama dari denyut ketakwaan manusia Bali.
Perlahan-lahan dupa kemudian memberi identitas pada manusia Bali yang tengah ngaturang bakti di tempat-tempat suci. Dupa berkembang menjadi sebuah komoditi yang memberi ciri pada penggunanya. Ia tak lagi sekedar sebuah sarana. Dari dupa yang disulut, orang Bali ingin memperoleh lebih dari sekedar api. Mereka lantas menilik apa merknya, atau seberapa semerbak wanginya. Karena itu dupa menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Semerbak wangi dupa sendiri tak cuma merebak di Bali, tapi kini sudah sampai ke mancanegara. Keharuman dupa Bali sempat singgah di pusara Putri Diana. Ketika pemakaman Mawar dari Inggris itu, yang tewas dalam kecelakaan mobil di Paris, ribuan dupa dipesan ke Bali. Adalah Wayan Sudiara yang beruntung menerima pesanan itu. Tapi ia menolak mengatakan nama pemesannya. Pesanan pertama yang ia peroleh dari Inggris itu memberi ilham baginya: jika Inggris yang penduduknya mayoritas non-Hindu sudi menghirup wangi dupa, "Jangan-ja-ngan negara-negara lain di Eropa membutuhkannya," pikirnya. Sudiara, kelahiran Denpasar, ini perlahan-lahan meninggalkan pangsa pasar tradisional, dan membidik pasar internasional. Alasannya, persaingan di pasar tradisional di Bali, sudah sangat ketat. ''Tak baik menambah jumlah persaingan yang sudah ada,'' sambungnya. Tujuan utamanya adalah konsumsi ekspor. Untuk Indonesia, yang disasar ada-lah kelas menengah ke atas, sehingga yang dibutuhkan adalah dupa berkualitas. Untuk meyakinkan konsumen, Sudiara sudah menampilkannya pada pandangan pertama. Ia menyuguhkan kemasan dupa yang luks dan keharuman yang menyengat. Calon pembeli, begitu mengambil dupa kelas atas ini, hidungnya akan segera disergap oleh bau semerbak wangi.
Hasilnya menggembirakan. Omset penjualannya meningkat. Sudiara pun memutuskan memilih segmen pasar tersendiri. Pesanan bertubi datang ke perusahaan dupa Gopala miliknya di Buana Kubu, Denpasar Barat, wilayah yang dikenal dihuni para pendatang dari luar Denpasar dan luar Bali. Daerah ini merupakan campuran dari berbagai suku, bermacam kelas ekonomi dan sosial.
Berada di tengah-tengah kawasan padat penduduk seperti itulah, Gopala terus merambah maju. Begitu mengunjungi tempat usaha dupa ini, orang bakalan segera paham, Gopala memang sedang menanjak naik dengan pesat. Beberapa unit gedung tambahan kini tengah disiapkan. Siapa pun yang melintas di perusahaan dupa pasti itu akan kerasan, sebab dari jarak puluhan meter aroma harum sudah me-nyapa hidung. Walau sudah mempekerjakan seratus pekerja, Gopala tetap kewalahan menerima pesanan. Pegawai yang 90% penduduk sekitar itu pun sering kali harus lembur. Produk mereka, dengan beraneka bentuk dan kemasan, telah menyebar hingga hampir ke seluruh dunia. Untuk konsumsi lokal hanya dapat ditemui di pasar swalayan dan hotel-hotel di Bali. ''Produk kami sejajar dengan produk dupa India dan Thailand yang selama ini merajai pasar dupa internasional,'' ujar Sudiara bangga. Maklum, usahanya boleh jadi perusahaan dupa terbesar di Indonesia. Maka siapa saja yang memanfaatkan dupa Gopala untuk bersembahyang, niscaya mereka menggunakan produk lokal yang berkualitas ekspor. Bisnis yang dikembangkan sejak lima tahun lalu itu kini masuk dalam jajaran perusahaan dupa besar dunia. Awal usaha- nya dimulai dengan memproduksi dupa tra-disional untuk konsumsi Bali. Sudiara, sarjana ekonomi, pernah menjadi dosen di P4B, Denpasar. Aktivitasnya sebagai seorang bhakta memantapkan langkahnya dalam bisnis dupa ini. Kendati sudah menjadi perusahaan dupa besar seperti sekarang, Gopala belum sanggup mmemproduksi dupa secara penuh di Bali. Tepung, bahan dasar dupa, masih diproduksi di Surabaya. Lidi dibuat di Malang. ''Semua perusahaan dupa di Bali mendatangkan bahan baku dari Jawa,'' ujar Sudiara. Keinginan membuat perusahaan tepung dupa di Bali terhalang kesulitan mengurus limbah. Tepung dupa, de-ngan bahan dasar kayu dan akar-akaran, menghasilkan limbah debu dalam jumlah besar. ''Ini membutuhkan lahan luas dan penanganan limbah yang tepat,'' ungkap pe-ngusaha yang rajin membaca Bhagawad Gita ini. Karenanya, lokasi pabrik harus tersendiri, jauh dari pemukiman. Makanya, ujar Sudiara, perusahaan dupa yang ada di Bali hanya sebatas perusahaan rakitan. Kegiatan di Bali adalah, pencelupan wewangian, dan pembungkusan menjadi ber-bagai bentuk kemasan. Dari bisnis asembling ini Sudiara mengelurkan dua merek dupa: Gopala dan Bhakta. Bentuknya beraneka ragam Tapi yang paling umum adalah bentuk batang, kerucut dan koil (seperti obat nyamuk bakar). Keunggulan dalam bentuk, aroma, dan kemasan ini membuat dupa produksi Gopala populer di mancanegara. Selain untuk bersembahyang, juga dipergunakan sebagai pengharum ruangan. Tapi yang terbanyak menyerap dupa tentu konsumen lokal. Di Bali setiap hari ribuan dupa dibakar untuk kegiatan kea-gamaan, sehingga pembuatan dupa menjadi ladang bisnis yang diminati banyak kalangan. Sesungguhnya, menilik begitu ba-nyak orang yang membutuhkan, bisnis dupa adalah usaha yang menggiurkan. Karena menggiurkan, ia pun diminati ba-nyak orang, mulai dari mereka yang me-ngaku pengusaha tanpa modal, sampai yang benar-benar bertaruh di bisnis dupa. I Gede Wirya, pemilik perusahaan dupa harum Sumber Wangi misalnya, mencoba bertaruh di bisnis wangi berasap ini. Ia satu bagian kecil saja dari bisnis dupa di Bali yang menyerap ribuan tenaga kerja. Wirya memperkirakan, perusahaan yang memproduksi dan memasarkan dupa di Bali mencapai ratusan. Rata-rata mereka adalah perusahaan rakitan yang mengerjakan dupa setengah jadi, seperti pencelupan dupa batangan serta pembungkusan. ''Rasanya dengan persaingan ketat ratusan perusahaan, sulit mengembangkan usaha dupa di Bali,'' jelas Gede Wirya. Perusahaannya di Jalan Katrangan, Denpasar, merupakan perusahaan keluarga. Wirya tidak menerapkan manajemen pembukuan dalam mengelola bisnisnya. Perusahaan yang ia rintis tahun 1972 ini memanfaatkan 20 pekerja diupah harian. Seperti perusahaan dupa lain, Wirya mengambil bahan baku dari Jawa, kemudian mencelupnya dengan larutan pewangi, sebelum dibungkus. Untuk pemasaran, ia lakukan sendiri, dibantu anggota keluarga. Sasarannya adalah pasar tradisional, toko dan pasar swalayan. Sistem manajemen keluarga memang ia lakoni sejak Sumber Wangi berdiri hingga sekarang. Jung Iryana
|
Nasib Mereka tak Sewangi Dupa Pedagang dupa keliling gundah. Mereka terancam kalah bersaing dengan pedagang pendatang. Perselisihan rebutan pelanggan acap kali muncul. Padahal keuntungan menjual dupa tipis. Lazimnya, dimana ada penjual canang, di situ pula dupa ditawarkan. Canang dan dupa kini dijual dalam satu paket. Penjual canang di pasar, atau yang banyak bisa ditemui di kaki lima, adalah langganan para sopir kendaraan umum dan mereka yang, misalnya, hendak bersembahyang ke Pura Jagatnataha Denpasar, ketika purnama-tilem, dan hari raya. Model paket dupa-canang ini belum lama muncul, mungkin lima tahun terakhir. Dulu, orang ke pura selalu mempersiapkan bunga dan dupa dari rumah.
Pedagang canang pinggir jalan ini modalnya pasti kecil, tapi mereka melihat ada peluang bisnis bagus untuk dupa. Beberapa di antara mereka akhirnya coba-coba merakit dupa sendiri, atau memesannya dari pedagang dupa keliling yang naik sepeda motor, bahkan tak sedikit yang cuma bersepeda. Kaum pedagang dupa ini pun menjadi bagian yang ikut menyemarakkan bisnis kegiatan upacara keagamaan di Bali, seperti pedagang canang, pedagang bunga, janur, atau kelapa Putu Kariana, penjual dupa keliling, sejak tiga tahun lalu menyerahkan nasib dan keberuntungannya dari menjual dupa. Setiap hari ia telusuri kota Denpasar dan Gianyar, menjajakan dupa kepada pedagang-pedagang di pasar dan toko. Acap kali ia merambah Tabanan. Jejaknya ini diikuti oleh kurang lebih 15 rekan-rekannya sekampung. Mereka menyewa sepetak tanah di pinggiran kawasan Tanjungbungkak Di rumah berdinding gedek dan triplek, dibantu istrinya, Kariana mengemas dupa-dupa itu. Boleh jadi, dupa yang kita sulut sebelum mabakti adalah kemasan Kariana dan istri, atau dikerjakan oleh ibu-ibu di gubuk-gubuk Tanjungbungkak itu. Mereka mengemas dupa sambil mengasuh anak, sebelum sang suami menjajakan dupa-dupa itu berkeliling. Dupa-dupa dipilah menjadi dua macam kemasan. Bungkus besar berisi 100 gram, dan bungkus kecil (khusus untuk dupa harum) berisi 10 batang. Menggunakan panas dari api lampu teplok, kemasan plastik itu di-sorder. Sehari, istri Kariana bisa mengemas satu keranjang dupa, yang memuat sekitar 15 bungkus dupa bungkusan besar, dan 30 bungkus untuk dupa hitam harum. Kepada langganannya, Kariana menyerahkan, se-tiap bungkus, Rp 750,- untuk dupa 100 gram, dan Rp 2.500,- untuk harum Rp. 2.500.
Bersama ratusan penjual dupa eceran lain, Kariana mengambil bahan baku di perusahaan dupa Kresna di Tonja. Seka-rung bahan yang harganya Rp. 170.000, setelah dipilah dan dibungkus akan terjual habis dalam tiga hari. Untuk sekarung bahan baku Kariana bisa mengantongi Rp. 225.000. ''Tapi itu masih kotor, kalau dipotong keperluan-keperluan lain, untung saya kecil,'' ungkapnya.
Di Tanjungbungkak, usaha merakit dupa ini adalah industri rumah tangga. Mereka bekerja berkelompok, mengolah dupa setengah jadi dari beberapa perusahaan dupa bermerek di Denpasar. Setelah rampung, mereka mengembalikan ke perusahaan itu, yang kemudian menempeli label. "Soal merek sudah disediakan oleh perusahaan tempat kami membeli bahan dupa karungan,'' tutur Kariana, kelahiran Karangasem. Untuk menambah pendapatan, bela-kangan Kariana menambah jenis dupa yang ia jual. Selain dupa yang dikerjakan istrinya, ia menjual dupa-dupa perusahaan lain. Dupa jenis ini biasanya harganya mahal karena berkualitas, dan harumnya semerbak. Namun ia tetap mengaku, ''Untung sebagai penjual dupa tak seberapa besar, hanya cukup untuk makan." Tapi sepeda motor yang ia pakai berkeliling diakuinya hasil dari bisnis dupa. Ada juga yang menjadikan dupa sebagai usaha sampingan, seperti yang dilakukan Made Rasni, yang membantu te-tangga menyiapkan dupa sebelum dijual ke pasar atau toko. Usaha dupa pun, di Tanjungbungkak itu, menjadi penampung-an bagi mereka yang berniat mengisi waktu luang, sekalian untuk mendapat uang. Rasni yang bekerja sambilan itu, misal- nya, memang meniatkan diri untuk bisa membantu pendapatan sang suami yang pas-pasan sebagai tukang bangunan. Sehari, selama dua setengah jam, ia bekerja membungkus dupa. "Ongkosnya, ya hampir sama dengan merenda atau mengisi mote pada pakaian,'' ucapnya. Orang se-gera bisa menebak, upah yang diterima Rasni pasti kecil. Mana ada industri rumah tangga yang sanggup memberi upah besar? Kebanyakan memberi uang ala kadarnya.
Seperti lazimnya orang berbisnis, Kari-ana berniat mengembangkan usahanya. "Tapi sulit, saingan banyak dan berat," keluhnya. Belakangan, Kariana dan pedagang dupa asal Bali lain gundah. Dari tiga ratusan pedagang, sekitar dua ratusan adalah padagang luar Bali yang muncul bela- kangan setelah krisis ekonomi. Ia tak berdaya lantaran langganannya banyak yang diambil para pendatang baru itu.
Para pendatang ini menjadi semakin kuat karena mengorganisir diri. Perselisihan merebut pelanggan pun kerap terjadi. Kariana mengaku, tetap memegang teguh kejujuran dan bermain bersih dalam berdagang. ''Kami bukan takut bersaing, tapi kejujuran berusaha harus kita hormati. U-saha ini kan kecil, mereka datang merusak harga, dan merebut langganan kami," jelasnya.
Dinamika kaum penjual dupa keliling yang tinggal dalam himpitan rumah-rumah sempit di tanah kontrakan itu, memang, tak seharum dupa yang mereka perdagangkan. Kariana pernah berharap, agar perusahaan dupa bersedia memanfaatkan jasa para penjual keliling untuk memasarkan produk mereka. Tapi keinginannya itu tetap menggayut tinggal harapan, karena rata-rata perusahaan dupa memiliki tenaga pemasaran sendiri. Perusahaan-perusahaan itu kelihatannya ogah diajak bekerjasama, "Mereka maunya semua diurus sendiri," kata Kariana. Maklum, mereka sangat menjaga kua-litas, penetapan harga, dan citra perusahaan. Mereka bersaing ketat satu dengan yang lain. Perusahaan-perusahaan dupa kelas menengah itu lebih senang mengemas sendiri produk mereka Jung Iryana |
Comments
Post a Comment