Beginilah kami haturkan sembah kami ke hadapan-Mu, Hyang Paramakawi . Karunia beras-Mu kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami ulat-ulat jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu, Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. . Maka, inilah SARAD persembahan kami Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk kayonan cerah makenyah kami letakkan di sisi kiri pamedal genah tawur di...
![]() |
Made Sukanta, lelaki kerempeng dari Dapdap Putih, Buleleng, lebih 17 tahun bermukim di Padang, Sumatera Barat. Ia dosen di Universitas Andalas, terdampar di Tanah Minang karena ia bercita-cita jadi guru besar, di universitas mana pun yang mau menerima dia. Sadar masa tuanya akan habis di termpat mengajar, ia punya keinginan kalau pensiun akan pulang kampung. “Aku ingin mati di Bali,” ujarnya selalu pada isteri dan anaknya. Sang istri menyambut keinginan itu dengan senyum dan geleng-geleng kepala. “Kamu telah menjadi orang asing,” kata si sitri. “Selama ini cuma orang asing yang ingin mati di Bali, yang terlanjur menyebut Bali sebagai surga terakhir.”
Belum tentu tiga tahun sekali Sukanta mudik. Gaji dosen kecil, ongkos pulang sekeluarga sangat mahal. Kalau ke Bali, ia pasti mabakti ke Pura Besakih. Selalu begitu, “Rasanya aku tidak ke Bali kalau tidak ke Besakih,” alasannya. Pernah ia mengikuti seminar sehari di Sanur, dibiayai sponsor. Ia menyempatkan diri ke Besakih, tidak ke Dapdap Putih untuk bertemu sanak saudara. Ia mengaku, Besakih memberinya jiwa, kedamaian hati, dan rasa syukur bahwa ia manusia Bali. “Mungkin kalau tak ada Besakih, aku belum merasa sebagai orang Bali,” katanya.Sukanta mungkin berlebihan, karena ia begitu bangga dengan Bali. Boleh jadi juga tidak. Ia punya sifat umum orang Bali, yang selalu gundah untuk kembali ke tanah kelahiran, tak peduli mereka berada nun di Kutub sana, di Banyuwangi atau Mataram yang begitu dekat. Mereka mengaku, jika teringat Pura Besakih, keinginan pulang pun terdorong-dorong kian kuat. Hasrat itu mendesak-desak, menjadi keinginan terpenting untuk segera dipenuhi.
Tapi tak cuma Sukanta, bukan semata orang Bali, yang punya kerinduan tangkil ke Besakih. Dalam setahun, ribuan turis piknik ke tempat suci ini. Mereka datang untuk menonton, tidak untuk menghayati. Jika bagi mereka tontonan itu unik, mereka akan datang lagi, mungkin untuk kesekian kali. Mengenakan kain, berdestar, mereka berbaur dengan orang Bali yang ngaturang bakti. Orang asing itu, yang mengaku tak lagi cuma sekedar datang, tetap saja hadir bukan untuk sebuah kenikmatan perjalanan spiritual, namun, katanya, “Di Besakih saya bertemu, melihat, dan menikmati Bali. Turis yang ke Bali tapi tidak ke Besakih, adalah turis asal-asalan.”
Orang piknik dengan mereka yang ngaturang bakti jelas tak sama. Tapi acap kali orang Bali, dulu apalagi, ke pura bisa juga berarti piknik, jalan-jalan, penyegaran raga dan pikiran. Sebuah perjalanan pengasahan watak dan kecerdasan, karena di termpat suci seperti Besakih, orang bisa menikmati seperti apa rasanya jadi mahluk yang kerdil, yang terus menerus berharap diberi kebahagiaan, kedamaian, dan panjang umur.
Maka pelancong asing itu tak keliru: di Besakih kita bisa bertemu Bali. Prihal sikap jutaan jiwa yang menghadapi peruntungan mereka sehari-hari, yang mereka niatkan selalu mendapat restu Besakih. Dan waktu kemudian mengingatkan: Besakih harus ada, harus terus menerus ada. Orang-orang sudah sampai pada kata pasti: Bali menjadi ganjil tanpa Besakih, menjadi hina papa jika di kawasan pertemuan itu sering meletup syak wasangka dan sengketa. Orang bertanya-tanya: mestikah perbedaan harus diselesaikan dengan degup jantung, semburan hardikan, dan kacak pinggang?
Besakih adalah pusat kekuatan Bali, tapi juga titik terlemah. Ia menjadi kebanggaan sejarah, melintasi waktu berabad silam, dan diharapkan sampai ke akhir waktu nanti. Tapi ia juga menjadi endapan emosi yang tak terlampiaskan, pusat gerutu banyak orang, tempat tertinggi untuk membuktikan siapa yang paling berhak dan digjaya di pulau ini.
Di Besakih, kedamaian, ketenangan, memang sesuatu yang sangat menjanjikan. Tapi ia bisa berubah wujud menjadi ironi dan ketidakmengertian, tatkala sebuah perbedaan pendapat mendapat tempat untuk dipersoalkan. Wajar jika muncul kesan, watak orang Bali yang santun, paras-paros (kekerabatan), tapi juga mudah tersinggung dan gampang magerengan (berselisih) sesama krama, tampak nyata di Besakih. Maka kalau sudah begini, masih sanggupkah Bali menggagas Besakih masa depan?
Jutaan umat Hindu tak pernah henti berharap, di masa depan Besakih menjadi pusat kebanggaan, tempat spiritualisme memberi puncak makna bagi perjalanan manusia modern. Ia memberi dorongan kepada umat untuk tidak cuma suntuk dalam doa, tapi juga gigih dengan kerja. Ia menjadi simbol semangat bagi umat untuk bersaing dengan bangsa lain di dunia. Ia memberi wahyu, menyuguhkan inspirasi, menjadi penuntun kemana alur hidup semestinya dilakoni. Ia menjadi pegangan, meniadakan kebimbangan, sehingga setiap langkah punya makna yang lebih pasti.
Ke masa depan seperti itu, butuh ketekunan dan penyerahan diri. Bukan watak licik yang dijejali tipu daya.
DIGITAL - Banyak orang tak ingin sesuatu yang penting terlewatkan. Dan teknologi digital memberi jaminan untuk menciptakan “keabadian” itu. Ia, teknologi digital itu, menjadikan semua barang elektronik tampil kian mungil. Kamera video pun dengan mudah ditenteng oleh Jro Mangku yang tidak mau kehilangan dokumentasi penting saat upacara.
Comments
Post a Comment