Skip to main content

Posts

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

Yang Tuyuh Bekerja demi Kemuliaan Hidup

Cantik mempesona sekaligus pekerja keras yang perkasa, itulah citra melambung wanita Bali di mata orang luar. Terkurung tradisi, ditindas laki-laki, sekaligus tak punya hak waris, itulah citra kelam perempuan Bali yang tak kunjung surut. Padahal, adat dan susastra-agama di Bali memposisikan wanita begitu mulia. Jadi pendeta bisa, raja pun boleh. Kenapa orang luar begitu ‘miring’ menilai adat Bali terhadap perempuan? Sisi mana sebaiknya diluruskan? Jadwal kerja sehari-hari wanita Bali sangat padat. Tapi mereka tak mengeluh. Malah ada yang merasa lek (malu) kalau cuma diam. Bukan semata-mata karena keterdesakan ekonomi, melainkan juga ingin memuliakan hidup dengan jalan bekerja. Alangkah padat jadwal kerja Ketut Werti. Ketika udara masih terasa dingin, pukul 04.30 pagi, wanita yang tinggal di wilayah Denpasar Selatan ini sudah masuk dapur. Menyalakan api, mendidihkan air. Di sela-sela itu, dia masih sempat mencuci piring makan dan gelas yang digunakan semalam oleh kedua anak dan...

Mantra Di Bak Pikup

Setengah abad silam, di Desa Tangkup, Karangasem, seo-rang kakek (90 tahun) masesangi:kalau ada jembatan ke Tangkup, di atas Tukad Telagawaja, ia akan menghaturkan guling akelan (enam ekor). Lima belas tahun lalu jembatan itu dibangun, Kakek pun membayar sesa-ngi di Sukra Umanis Merakih, 25 Februari 2000. Hujan turun lebat, tak tersedia bale pemiosan untuk ida pedanda. Ketika cuma gerimis kecil tersisa, pemujaan dilangsungkan dari bak mobil pikup. Terbuktilah sabda Hyang Widhi: dengan cara apa pun, di mana pun, kamu menyembah Aku, Aku terima. Desa Tangkup kini bukan lagi daerah terisolir di Karangasem. Hyang Widhi sungguh ada di mana-mana.

Tuah Wanita Bali

Laki-laki menjadikan wanita sengsara, anak membuatnya bahagia. Sungguh? Betapa menyesakkan kisah ini, tapi ia bisa menjadi ungkapan dari zaman ke zaman: anak lebih dibutuhkan oleh seorang ibu tinimbang oleh sang bapak. Laki-laki menaruh pengharapan di banyak tempat, di sembarang waktu. Ia punya peluang tanpa batas untuk berkuasa, berkelana kemana pun ia ingin, menyentuh apa pun yang ia mau, dan mencicipi apa saja, siapa saja, yang ia suka. Tapi wanita? Pengharapannya cuma satu: anak.  Putra pengharapan yang sangat menyayangi ibu itu kemudian punya tuntutan gamang: ia ingin istrinya seperti ibunda. Si istri pun tumbuh di tengah mahligai yang sempit dan kaku. Ia merintih karena harus menjadi wanita yang takluk. Ia menderita seperti dikutuk sejarah: sengsara oleh laki-laki yang dibentuk ibunda. Kisah pun kembali ke awal: wanita itu disengsarakan laki-laki, dan berharap anak akan membahagiakannya. Sungguh celaka, wanita juga disakiti oleh kaumnya.

Geng Karya, Geng Goda

Sumber : Expedia Di Batur, Kintamani, Desember 1999 lalu berlangsung upacara pabersihan Segara Danu lan Gunung Batur yang menurut pangelingsir Pura Ulun Danu Batur  Jero Gede Duwuran dan  Jro Gede Alitan  telah 200 tahun belum pernah dilaksanakan.  Usai tawur, lima gandeng perahu yang memuat wewalungan meluncur ke tengah danau lalu berpencar ke arah nyatur: utara,timur, selatan dan barat, serta satu tetap di tengah. Perahu-perahu lain kemudian menyusul, mengangkut para pangayah.    

Nyepi Nungkalik

(Pecalang (polisi adat) sedang memantau Hari Raya Nyepi di Bali. (ANTARA FOTO/Panji Anggoro ) :  CNN Indonesia Hari raya Nyepi, seperti yang sudah sudah, pasti diusahakan sekhusuk mungkin. Kalau bisa, tak hanya kendaraan jangan lewat di jalan raya, tapi bunyi apa pun usahakan jangan sampai terdengar. Amati geni agar sungguh dipatuhi. Malam hari harusnya gelap gulita, listrik padam total.    Tapi nyatanya, seperti yang sudah-sudah, Nyepi  khusuk total tak gampang dilaksanakan. Masih saja mobil lalu lalang, cahaya menerobos keluar dari celah-celah kordin dan genting.   

Sija, Orang Bali Miskin yang Berkecukupan

Ia dikenal sebagai seniman multidimensi: pencipta wayang arja, pembuat sarad, penari, undagi, pelukis, yang menjadi guru ba-nyak murid. “Saya orang miskin yang berkecukupan,” akunya .   Di zaman Soekarno ada dua desa di Bali yang sangat terkenal: Tampaksiring dan Bona, keduanya di Gianyar. Tampaksiring terkenal karena di sebuah puncak bukit berdiri istana kepresidenan, mendongak di atas Pura Tirtaempul. Dan Bona tersohor karena di dusun itu bisa dijumpai pertunjukan cak terbaik. Jika menyebut  cak, langsung orang terngiang-ngiang Bona.    Ke kedua desa itu Soekarno sering berkunjung, karenanya jalan menuju dusun-dusun itu mulus, seperti aspal hotmix masa kini. Di hari Galungan banyak anak-anak plesir ke Bona bersepeda, untuk merasakan kenikmatan meluncur di atas kereta angin tanpa guncangan sedikit pun.    Tampaksiring sampai kini tetap dikenal dengan istananya, namun Bona tak lagi beken dengan cak. Banyak sekaa cak bagus-bagus dari desa lain di Bali...

Selalu Bersama Roh Pekak Kakul

Berbeda dengan kebanyakan desa di Bali yang kesengsem sama gong kebyar, di Desa Batuan drama tari klasik gambuh justru sangat diminati. Sesuatu yang langka dan unik memang, kalau ada remaja dan anak-anak meminati gambuh, sementara ibu dari hampir semua tari Bali ini ditinggalkan peminat seni tari Bali. Koreografer besar, penari tersohor, yang belia, cantik, pun tak tertarik pada gambuh. Beruntunglah Bali punya Batuan, karena di desa ini gambuh selalu direkontstruksi dan diperkaya tanpa mengesampingkan ciri dan keasliannya.