Skip to main content

Posts

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...
Recent posts

Lelipi Ngentut

Siapa pun percaya, kalau Pura Dalem Muter Kesiman, Denpasar, yang letaknya di sebelah timur Sungai Ayung, itu tenget (angker). Tempat suci ini punya benang merah sejarah yang semestinya diketahui dan dipahami oleh orang-orang Bali. Pura ini telah hadir dalam peradaban Bali Kuna, berperan penting dalam pemerintahan raja-raja di Bali. Tempat ini sebuah wilayah keramat hingga sekarang, kendati rumah penduduk dan restoran menge-pungnya. Di selatan pura ini adalah hutan lebat sampai ke daerah Sanur. Hutan ini disebut Petegaling Megalak, yang sangat angker, keramat. Daerah inilah yang kini menjadi Pa-dang-galak. Oleh  Raja Bedaulu, Asta Sura (dikenal dengan gelar Sri Tapuk Ulung, Batuireng), Petegaling Megalak dipercayakan kepada Ki Gudug Basur sebagai penguasanya.  Ketika Majapahit menyerbu Bali, patih Arya Wang Bang ditugaskan menundukkan Kesiman. Tapi Ki Gudug Basur tak mau takluk. Pertempuran sengit terjadi di Petegaling Megalak antara laskar Majapahit me-lawan prajurit Bali. Di...

Cosss.... Celeng Hilang Makecos

Wayan Rupa, perajin ukir kayu dari Sukawati, contoh orang Bali yang pintar mensyukuri hidup. Ber-awal dari hanya bekerja sebagai tukang ukir pada seorang majikan, dua tahun kemudian Wayan sudah mandiri seiring dengan mengalirnya pesanan ukiran dan bangunan Bali.  Menapaki usia 65 tahun, hidup Bapa Wayan kian enteng karena telah memiliki usaha pemborong bangunan Bali dan sebuah art shop yang dikelola anak lelaki-nya. Dia tidak menampik kalau pembangunan hotel wisata telah memberi jalan baru pada kehidupannya yang lebih sejahtera. “Walau begitu, saya tidak mau diperbudak pariwisata.  Saya harus tetap lebih meningkatkan bakti kepada Hyang Widhi,” begitu tangkisnya jika ada yang bertanya mengapa ia lebih memilih pariwisata ketimbang jadi petani.  Bapa Wayan yakin, wisatawan datang ke Bali karena Bali unik, dan keunikan Bali adalah ciptaan Hyang Widhi. Karena itu, melaksanakan ajaran agama adalah jalan untuk berterimakasih kepada-Nya agar keunikan Bali dipelihara, sehingga wis...

Rindu Luk Gregel Jero Suli

Alunan tembangnya menyihir penonton, membuat penikmatnya larut dalam kepiluan atau bertempik gembira. Ia penembang yang tak ada duanya, tak punya penerus, papa di hari tua. Drama tari arja  itu produk orang kampung. Untuk menikmatinya dibutuhkan suasana dusun: tak ada listrik, ja-lan tanah, rimbunan pohon, suara jang-krik, dan desiran angin. Kalangan, arena pertunjukan, tak punya batas dengan penon-ton. Seni pentas klasik ini sungguh-sungguh milik rakyat. Dari kesenian rakyat itulah Jero Suli lahir, dibesarkan, disanjung-sanjung, sebelum pertengahan ‘70-an. Kemudian dilupakan, setelah drama gong menggilasnya. Arja, opera Bali itu, hanya diseminarkan, ditelaah, dipelajari, dan ditangisi keruntuhannya. Dalam  ribuan kali perbincangan itu selalu muncul nama Jero Suli, menjadi legenda seni pentas yang begitu kaya nilai artistik itu. Pengiringnya, gamelan geguntangan, yang sangat sederhana, tapi begitu ritmik dan romantik, kini diobrak-abrik gong kebyar yang berdenyar-denyar. Zaman...

Ke Petulu, Kokokan Bercumbu

Setidaknya ada lima spesies Kokokan tidur saban malam di Petulugunung: Ardenola speciosa (blekok sawah), Bubulcus ibis (kuntul kerbau), Egretta alba (kuntul putih berseri), Egretta intermedia (kuntul perak), dan Egretta garzetta (kuntul perak kecil). Populasi mereka ribuan. Sebuah tim peneliti dari Universitas Udayana memperkirakan jumlahnya 8.000 ekor. Tapi peneliti lain memperkirakan ll8.500 ekor lebih. Tapi ada juga peneliti yang memperkirakan populasinya tak lebihdari 6.000 ekor. Tiga jenis burung itu: Bulbulus ibis, Egretta garzetta dan Egretta intermedia merupakan satwa yang dilindungi oleh undang-undang yang dikeluarkan Menteri Kehutanan tahun 1991. Burung-burung berleher jenjang ini saban sore dan pagi membuat Petulugunung hiruk pikuk. Apalagi di musim kawin, yang berlangsung sepanjang September-Oktober. Bulan Desember mulai tampak anak-anak kokokan disapih induknya. Januari, anak-anak kokokan mulai belajar terbang. Banyak yang tak kuat mengepakkan sayap, jatuh terpelanting ke ...

Rezeki Kokokan di Petulu Gunung

Ribuan kokokan telah mengubah wajah Dusun Petulugunung. Desa jadi terkenal, perekonomian warga pun membaik. Satu contoh kelimpahan rezeki dari kemurahan dan keajaiban alam. Prahara tahun 1965 yang berdarah-darah membuat banyak desa di Bali mencekam dan genting. Ribuan orang komunis, yang benar-benar kader atau yang cuma ikut-ikutan, digorok di jalan-jalan. Saudara membunuh kerabat, teman menghabisi kawan. Rumah-rumah dibakar, tempat ibadah keluarga dihancurkan. Banyak anak-anak tiba-tiba menjadi yatim, ribuan wanita menjanda. Tak seorang pun orang Bali ingin kekejian itu hadir kembali. Tapi Dusun Petulugunung di Ubud, Gianyar, akhir 1965 justru menerima anugerah alam. Ketika itu, bersamaan dengan piodalan di Pura Desa, ribuan kokokan (bangau) “menyerbu” dusun itu: gaduh, berteriak-teriak, hinggap di pohon-pohon besar yang rindang. Orang-orang yang ramai di Pura Desa tercenung menyaksikan pemandangan yang mereka anggap sebagai sebuah keajaiban. Tak seorang pun tahu dari mana datangnya r...

Tak Dosa, Pakai Busana Warna-warni ke Pura

Konsultasi Susila Ida Bagus Wijaya Kusuma Siapa Berhak Diberi? Kalau sedang makan di tempat makan terbuka, seperti di lesehan, saya sering didatangi pengemis. Ada anak-anak, ada ibu-ibu setengah umur. Ada juga wanita dengan menggendong bayinya. Begitu juga kalau sedang mengendarai kendaraan saat  lampu merah, jendela mobil adakalnya digedor orang yang berlaku seperti pengemis. Sejauh ini, saya tak pernah memberi sepeser pun kepada mereka. Soalnya, saat tinggal di luar Bali saya sering melihat pengemis pun ada sindikatnya, ada yang mengorganisasi mereka. Karena tak pernah memberi kepada pengemis itu, saya sering dibilang pelit oleh saudara-saudara saya.  Benarkah tindakan saya atau keliru? Apakah setiap pengemis atau orang yang minta kepada kita mesti kita berikan, walaupun dia disuruh orang lain, misalnya? Apakah itu tidak berarti akan mendidik orang jadi malas? Apakah ini tidak dosa? Adakah etikanya untuk memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan? Bagaimana kriter...

SARAD Klik

Surat itu dilayangkan dari nun jauh disana: Belgia. Pengirimnya, Adam Gunter, cuma butuh beberapa detik mengirim surat itu sampai di Redaksi SARAD, di Denpasar, Bali. Segera kami sadar, inilah surat elektronik ( e-mail ) pertama yang kami terima sejak kami   on-line   di jagat maya internet, minggu pertama Januari 2000.  Tekad membuat situs web muncul begitu kami merancang SARAD edisi cetak. Usul itu dilontarkan Made Widnyana Sudibya, yang menekuni website sejak dua tahun terakhir. Dialah yang kemudian menjadi  webmaster  kami. Sejumlah  website  sudah digarap rekan yang kami akrab sapa Pak Wid ini. Jika  Anda seorang peselancar di dunia maya, lantas bertemu dengan  baliethnic.com , itulah salah satu situs rancangan Pak Wid.  ‘Tukang insinyur’ jebolan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unud ini, mengaku girang tak alang kepalang ketika sejumlah e-mail lainnya masuk susul-menyusul. Dia pun sigap membalas setiap surat, sama sigapnya dengan...