Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Om Swastiastu

SARAD

  Beginilah kami haturkan sembah kami  ke hadapan-Mu,  Hyang Paramakawi .  Karunia beras-Mu  kami tumbuk-tumbuk jadi tepung sari tepung kasih-Mu kami  ulat-ulat  jadi adonan dasar buat persembahan memuja-Mu. Beginilah kami memulai memaknai anugerah-Mu,  Pakulun Hyang Paramakawi , dengan tangan renta ini kami pilin-pilin angkara inderawi yang senantiasa menggoda kelobaan hati kami. Dengan napas terkendali di jagat diri dengan arah pikir memusat ke puncak keberadaan-Mu kami persembahkan kebeningan hati  Maka, jadikanlah jiwa kami damai berkatilah anak cucu kami yang belia berjari lentik itu ketekunan menimba kearifan tradisi merangkai butir demi butir tepung  menjadi untaian persembahan benar mulia, suci, dan indah. .   Maka, inilah  SARAD  persembahan kami  Ampunilah, Duh Hyang, hanya untaian cinta berbentuk  kayonan  cerah  makenyah  kami letakkan di sisi kiri  pamedal genah tawur   di...

Geng Karya, Geng Goda

Sumber : Expedia Di Batur, Kintamani, Desember 1999 lalu berlangsung upacara pabersihan Segara Danu lan Gunung Batur yang menurut pangelingsir Pura Ulun Danu Batur  Jero Gede Duwuran dan  Jro Gede Alitan  telah 200 tahun belum pernah dilaksanakan.  Usai tawur, lima gandeng perahu yang memuat wewalungan meluncur ke tengah danau lalu berpencar ke arah nyatur: utara,timur, selatan dan barat, serta satu tetap di tengah. Perahu-perahu lain kemudian menyusul, mengangkut para pangayah.    

Nyepi Nungkalik

(Pecalang (polisi adat) sedang memantau Hari Raya Nyepi di Bali. (ANTARA FOTO/Panji Anggoro ) :  CNN Indonesia Hari raya Nyepi, seperti yang sudah sudah, pasti diusahakan sekhusuk mungkin. Kalau bisa, tak hanya kendaraan jangan lewat di jalan raya, tapi bunyi apa pun usahakan jangan sampai terdengar. Amati geni agar sungguh dipatuhi. Malam hari harusnya gelap gulita, listrik padam total.    Tapi nyatanya, seperti yang sudah-sudah, Nyepi  khusuk total tak gampang dilaksanakan. Masih saja mobil lalu lalang, cahaya menerobos keluar dari celah-celah kordin dan genting.   

Sija, Orang Bali Miskin yang Berkecukupan

Ia dikenal sebagai seniman multidimensi: pencipta wayang arja, pembuat sarad, penari, undagi, pelukis, yang menjadi guru ba-nyak murid. “Saya orang miskin yang berkecukupan,” akunya .   Di zaman Soekarno ada dua desa di Bali yang sangat terkenal: Tampaksiring dan Bona, keduanya di Gianyar. Tampaksiring terkenal karena di sebuah puncak bukit berdiri istana kepresidenan, mendongak di atas Pura Tirtaempul. Dan Bona tersohor karena di dusun itu bisa dijumpai pertunjukan cak terbaik. Jika menyebut  cak, langsung orang terngiang-ngiang Bona.    Ke kedua desa itu Soekarno sering berkunjung, karenanya jalan menuju dusun-dusun itu mulus, seperti aspal hotmix masa kini. Di hari Galungan banyak anak-anak plesir ke Bona bersepeda, untuk merasakan kenikmatan meluncur di atas kereta angin tanpa guncangan sedikit pun.    Tampaksiring sampai kini tetap dikenal dengan istananya, namun Bona tak lagi beken dengan cak. Banyak sekaa cak bagus-bagus dari desa lain di Bali...

Selalu Bersama Roh Pekak Kakul

Berbeda dengan kebanyakan desa di Bali yang kesengsem sama gong kebyar, di Desa Batuan drama tari klasik gambuh justru sangat diminati. Sesuatu yang langka dan unik memang, kalau ada remaja dan anak-anak meminati gambuh, sementara ibu dari hampir semua tari Bali ini ditinggalkan peminat seni tari Bali. Koreografer besar, penari tersohor, yang belia, cantik, pun tak tertarik pada gambuh. Beruntunglah Bali punya Batuan, karena di desa ini gambuh selalu direkontstruksi dan diperkaya tanpa mengesampingkan ciri dan keasliannya.   

Gambuh Batuan Bertahan karena Malu

Dirintis maestro Nyoman Kakul, sekaa gambuh Batuan satu dari segelintir seniman yang melestarikan gambuh. “Kami bertahan karena rasa malu,” ujar Ketut Kantor, penerus Kakul.   Tak banyak yang kini peduli kalau Desa Batuan, Gianyar, adalah desa pelopor industri turisme. Awal tahun ‘70an artshop sudah berdiri di dusun ini, berjajar di tepi jalan utama Denpasar-Gianyar. Kala itu toko kesenian, galeri, di Desa Mas, Ubud, Kuta atau Sanur, tak seriuh sekarang. Tapi catatan terpenting untuk Batuan memang tidak soal urusan toko kesenian, justru dalam hal seni pertunjukan. Catatan itu semakin tajam guratnya kalau kita masuk ke rumah ke-luarga Nyoman Kakul. Rumah keluarga Kakul masih sangat mengesankan rumah Bali klasik. Kendati beberapa bangunan modern mendesak ba-ngunan-bangunan tua, tapi di natah itu hawa Bali asli masih terasa kuat berhembus. Tembok bale daja keluarga ini masih terbuat dari popolan (tanah liat). Di pekarangan bagian selatan dikhususkan untuk kegiatan belajar menari....

Mempererat Kekerabatan di Hari Umanis Galungan

Umanis Galungan saat tepat masimakrama, untuk mempererat tali kekerabatan. Kalau toh dimanfaatkan untuk maceki dan meapelalianan, hendaknya jangan sampai menjadi perjudian.   Hari Umanis Galungan dimanfaatkan oleh masyarakat Bali untuk masimakrama dengan keluarga dan sanak famili. Tak ketinggalan, bajang-teruna merayakannya dengan melali ke tempat-tempat rekreasi dan pusat perbelanjaan.  Ida Pedanda Gede Pidada Punia Atmadja melihat keduanya sebagai ungkapan suka cita. Berikut pandangan Sulinggih yang pernah menjabat Ketua Umum PHDI Pusat ini.   Mengapa saat Umanis Galungan umat Hindu melaksanakan simakrama?   Hari Umanis Galungan adalah hari yang sangat baik mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Ini bertalian dengan aspek individu dan aspek sosial manusia. Sebagai individu, manusia tidak bisa terlepas dari ikatan kekeluargaan. Manusia tidak dapat hidup sendiri, ia memiliki ayah, ibu, saudara dan sanak fam...

Bali oleh Bali

Perbincangan tentang Bali telah banyak dilakukan orang.  Tulisan-tulisan pun bertebaran, makalah, skripsi, disertasi, buku, novel, pidato pejabat, atau catatan perjalanan anak sekolah ketika piknik memenuhi tugas pak guru. Banyak tulisan itu yang ala kadarnya, main-main, saling kutip, sehingga isinya berputar-putar hambar. Orang kemudian menjadi sangsi: Bali yang sebenarnya itu seperti apa?   Tapi tentu banyak tulisan yang bagus, dialog dan komentar yang memikat. Pelakunya adalah mereka yang sungguh-sungguh berniat mengenal Bali lebih dalam, terarah, terencana, dalam satu kerangka pengkajian menyeluruh. Mereka tak hendak menampilkan Bali yang sepotong-sepotong, yang bisa meletupkan kesalahpahaman dan kegelisahan.     Island of Bali  karya  Miguel Covarrubias  misalnya, satu contoh buku paling lengkap tentang Bali hingga kini. Ialah buku sederhana, apa adanya, dan dijauhkan dari kesan nyinyir. Setiap orang yang hendak memahami Bali, patut ...

Lulus Ujian, Sunari Ngidam

Judul Buku  : Sunari   Pengarang  : I Ketut Rida   Penerbit  : Yayasan Obor, Jakarta   Tahun, tebal  : 1999, 82 halaman Setelah 60 tahun lebih, kini novel berbahasa Bali terbit lagi di Jakarta. Ceritanya ringan, namun baik untuk belajar bahasa Bali. Yayasan Rancage yang berpusat di Bandung pun langsung memberi Hadiah Rancage Tahun 2000. Novel Sunari karya I Ketut Rida (1939) merupakan salah satu karya penting dalam sejarah sastra Bali modern karena dua alasan. Pertama, novel Sunari muncul justru ketika perkembangan sastra Bali modern (seperti juga umumnya sastra berbahasa daerah di daerah lain di Nusantara) dilanda rasa keprihatinan yang mendalam karena jarangnya karya sastra yang terbit dan tipisnya sambutan masyarakat. Kehadiran Sunari setidaknya menyuntikkan rangsangan baru untuk menyemarakkan perkembangan sastra Bali modern memasuki milenium baru.  

Pakelem

 “Alam semesta dan jagat manusia itu punya unsur raga sama. Itulah: Pretiwi (bumi), Apah(air), Teja (sinar), Bayu (angin), dan Akasa (eter). Dinamakan Panca Mahabhuta, Anakku.” Begitu Guru senantiasa mengajarkan kepada kami.

Siwaratri, bukan hari Penebusan Dosa

  Tanya Jawab Prihal Tatwa: I Gede Sura Batara atau Dewa? Saya ucapkan selamat atas terbitnya majalah SARAD. Membuka-buka halaman demi halaman, saya sangat senang. Inilah kira-nya majalah yang sudah lama saya dambakan. Isinya sejuk, tidak ada sensasi, dan banyak memberikan tuntunan pendalaman makna baik terhadap agama maupun budaya Bali. Karena Redaksi juga menyediakan konsultasi berkaitan dengan masalah agama, maka pada kesempatan kali ini saya ingin mengajukan beberapa per-tanyaan.  Kalau dicermati di masyarakat Bali, tampaknya hingga kini masih jarang digunakan istilah dewa. Yang lebih sering digunakan adalah batara. Adakah perbedaan istilah dewa dengan batara? Kenapa di masyarakat Bali lebih sering digunakan istilah batara, sedangkan di buku-buku justru lebih sering digunakan istilah dewa. Di masyarakat, misalnya, digunakan nama Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Siwa. Demikian juga halnya dalam seni pertunjukan, lebih sering digunakan batara. Namun di buku-buku ...

Busung Bali Sulit Dicari

Orang Bali sangat tergantung pada busung (janur). Kebutuhan busung pun tinggi, sehingga harus didatangkan dari Jawa dan Lampung. Tapi ibu-ibu lebih suka busung Bali, karena lebar, lemes, dan mudah menjahitnya. Tapi, busung Bali semakin sulit dicari.   Menjelang pukul sembilan malam di Pasar Badung. Para pedagang  sayur yang mengangkut barangnya dengan pikup mulai memasuki areal parkir, beriringan dengan mobil pengangkut buah-buahan. Pikup sayur datangd ari Baturitu, Tabanan. Yang mengangkut buah dari Jember. Sebuah pikup L300 cokelat tua kemudian masuk. Sopir memutar kendaraannya ke barat, masuk ke utara, lalu berhenti di bagian timur parkir. Kondektur membuka terpal, janur-janur yang tersusun rapi pun tersembul. Orang-orang yang menunggu sedari tadi merubungnya. Mereka merogoh dompet, menyerahkan uang. Kondektur itu menepiskannya. “Sabar Bu, Pak, sabar, nanti petugas marah,” ka-tanya sembari menggulung terpal.  

Pelopor Tedung dari Taensiat

Karena teguh mempertahankan kualitas, pajeng buatan Made Kara tersebar di banyak belahan dunia. Presden Sukarno pun  kagum dengan pajeng buatannya. Kini, Kara masih bisa melihat pajeng buatannya yang berumur 30 tahun, seumur dengan perjalanan usahanya membuat pajeng Bali Falsafah bisnis mengajarkan untuk mengambil setiap kesempatan bila ada jalan untuk melakukannya. Tapi ini tidak berlaku untuk Made Kara, pembuat pajeng asal Denpasar ini. Padahal jika ia mau kesempatan besar itu ada padanya. Pengalamannya dalam pembuatan pajeng pesanan Bung Karno saat pelaksaaan Asian Games di Jakarta tahun 50-an dulu bisa menjadi modal bagi usaha pajeng yang ia tekuni. Awalnya Made Kara adalah seorang pragina arja. Ia banyak dibentuk oleh seniman-seniman besar seperti I Gusti Ngurah Redok, I Gusti Made Riuh (Penatih), hingga Nyoman Kakul di Batuan, Gia-nyar. Hanya saja nasibnya tak sepopuler guru-gurunya. Kara dikenal tidak sebagai pragina tapi sebagai pembuat pajeng prada.  Api tak jauh dar...

Merengkuh Untung dari Bisnis Tedung

Asian Games 1961 di Jakarta menyulap tedung dari perangkat upa-cara menjadi komoditi bisnis. Payung khas Bali ini kini sudah bisa didapatkan di mana-mana di seluruh dunia. Bali itu semarak. Jempana, tedung, kober, umbul-umbul, pajeng, berseliweran di mana-mana, setiap waktu. Hotel-hotel menggunakan  tedung dan pajeng (payung) sebagai trade mark promosi produk mereka. Pajeng dengan warna perada gemerlap dipajang di lobi, menyapa wisatawan untuk memasuki atmosfir Bali. Pajeng yang semula digunakan untuk nedungin Ida Batara di pura, kini digamit untuk pariwisata. Dalam brosur –brosur  hotel dan produk jasa pariwisata, penggunaan pajeng  seolah merupakan suatu keharusan sebagai duplikat identitas Bali untuk menambah nilai jual produk yang ditawarkan.  Layaknya koboi untuk Amerika. Pajeng memang identik dengan karakter seni orang Bali, yang membuat Presiden Sukarno kesengsem, lalu menjadikan pajeng sebagai identitas Indonesia di arena Asian Games di Jakarta, 1961. Seja...

Tak Cukup Sujud, Pedharman Dipugar

Tiga tahun belakangan pembangunan pura-pura padharman di Besakih makin marak. Menepis  kesan jor-joran dan eksklusif, masing-masing soroh saling bantu-membantu. Bahkan ada soroh yang sampai membantu proposal segala. Gusti Nyoman Dharma, pemuda yang lama diperantauan ini tampak bingung memasuki pelataran pura. Le-bih dari enam tahun ia tak pernah pedek tangkil ke Besakih termasuk pura  padharmannya , Pura Padharman Arya Kenceng. Maklum saja, pemuda asal Tabanan kota ini selepas kuliah di Bandung tak langsung mudik, tapi mengadu nasib di kota sejuk Bandung, hingga jarang tangkil. Dalam hati ia tak yakin pura yang ia masuki adalah pura seperti yang ia baca pada sebilah papan didepan pura. ‘’ Patut niki pura padahrman Arya Kenceng ,’’ tanyanya meyakinkan pada pemedek yang juga tangkil. Meski telah terima jawaban, Dharma tak langsung  masila , ambil  canang  dan dupa seperti  pemedek  lainnya. Ia bimbang. Peralatan sembahyangnya ia taruh, lantas ia jalan...

Menelusuri Jalan Leluhur di Blitar

Pura kahyangan jagat berdiri di Blitar. Arsitekturnya khas Jawa Timur. Padmasana-nya menggunakan dasar ular kobra, bukan naga. Selain sebagai tempat persembahyangan, pura ini memang dimaksudkan untuk menggali kembali kebudayaan Hindu di Jawa yang telah lama terkubur. Ada kesan sangat lain menyusup ke sanubari ketika kami, sejumlah mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, mengikuti upacara piodalan di Pura Penataran Prabha Bhuwana, Blitar, Jawa Timur. Sekilas memang mengingatkan kami pada upacara-upacara piodalan di pura-pura di seantero Bali. Namun, segera kami tersadar, saat itu, kami bukan menjejakkan kaki di tanah Bali, melainkan di sebuah daerah yang dikenal sebagai tanah kelahiran mendiang Presiden RI Pertama, Soekarno  —ratusan kilometer di sebelah barat tanah Bali.  Alunan gamelan yang mengiringi gemulai tarian Jawa memberi nuansa lain. Kidung-kidung dalam bahasa Jawa yang mengiringi Rama Pandita, pemimpin upacara setempat, menguncarkan bait-bait mantra pengantar ...

Situs Air dengan Sebelas Tirta

Danau Batur, memang, sebuah si- tus air terlengkap dalam jagat agraris Bali. Ada sebelas sumber air (tirtha) di seputar danau ini. Masing-masing: Telaga Waja, Danu Gadang, Danu Kuning, Bantang Anyud, Pelisan, Mangening, Pura Jati, Rajang Anyar, Manik Bungkah (Toya Bungkah), Mas Mampeh, dan Tirtha Prapen. Masing-masing sumber air ini memiliki fungsi sendiri-sendiri, sekaligus menjadi pemasok air sungai-sungai utama di Bali. Danu Kuning, misalnya, memasok (ngecok) ke Tukad Melangit di Klungkung dan Tukad Pakerisan.  Sedangkan Danu Gading memasok air ke Tukad Bubuh, Telaga Waja ngecokin Tukad Telaga Waja yang memasok air ke subak di Karangasem dan Klungkung, demikian seterusnya. Pasokan air inilah yang kemudian menjadikan subak-subak di wilayah yang dialiri oleh sungai-sungai bersangkutan akhirnya nyungsung (bertanggung jawab) ke Pura Danu di Batur, Beratan, Tamblingan, atau malah Gunung Agung langsung. Artinya, “Subak dengan kewajiban-kewajibannya dibagi berdasarkan sumber air di...

Bebotoh Pantang Disapa

Boleh jadi pulau yang paling banyak punya julukan adalah Bali. Ia dijuluki Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Kahyangan, tempat para dewa dan bidadari memberi wahyu, kemolekan, cinta, dan kasih sa-yang. Ketika dunia porak poranda oleh perang, perkelahian, atau dijejali perseteruan merebut uang dari kerja pabrik-pabrik, Bali dijuluki Firdaus Terakhir, taman yang sepenuhnya menjanjikan kedamaian. Orang-orang kaya di negeri maju, yang sering dipusingkan oleh berbagai persoalan duniawi, berbisik kepada rekan-rekannya, “Datanglah ke Bali sebelum mati.”  

IB Adnyana Manuaba - Tak Lupa Kawitan

Sulit sekali melupakan kawitan saya di Unud,” ujar Prof Drs IB Adnyana Manuaba geleng-geleng kepala. Lho, memangnya Unud itu milik keluarga? Guru besar ergonomi, anggota MPR RI dari utusan daerah Bali, itu pun bercerita begini.   Usai Sidang Umum MPR, Oktober 1999 lalu, sebenarnya Adnyana terpilih kembali sebagai anggota Badan Pekerja  (BP) MPR, berkat kepiawaian olah intelektualnya. Klausul tentang pariwisata dalam Tap MPR tentang GBHN, secara utuh sampai titik komanya, merupakan buah pikirannya. “Ini sejarah bagi orang Bali,  karena hampir selama tiga puluh tahun tahun terakhir hal itu tak pernah ada,” katanya bangga. Lantas apakah Adnyana Manuaba menerima posisi itu?   “Tidak saya menolak,” katanya kepada SARAD.  Sebabnya, stafnya di S2 dan S3 yang dia rintis mengancamnya. “Kalau Bapak terpilih lagi sebagai  anggota BP MPR, kami akan bubarkan program S2 dan S3 ini,” ujar Adnyana menirukan ancaman anak buahnya. Jika ia terpilih lagi, berarti ia harus teru...

Ketut Sutarmin - Api Cinta Antonio Blanco

Ada dua Ronji yang dibalut kesedihan ketika pelukis Antonio Blanco meninggal di Ubud. Yang pertama adalah Ni Ronji yang dinikahi Blanco, ketika pelukis itu terpana oleh eksositisme pedesaan Bali di tahun 30-an. Ni Ronji yang kedua adalah Ketut Sutarmin (25) yang memerankan tokoh Ni Ronji dalam sinetron Api Cinta Antonio Blanco garapan Ja-tayu Cakrawala Film.   Sutarmin, yang juga sering dipanggil Ketut Melati, tak punya hubungan darah dengan Blanco, “Tapi karena memerankan Ronji, saya jadi dekat dengan dia,” tutur Ketut. “Saya sedih ketika mendengar berita dia me-ninggal. Tapi dia sudah sangat tua, ya?” katanya.   Ketut, anak kedelapan dari sepuluh bersaudara, tak pernah mimpi jadi bintang sinetron. Ia coba-coba saja melamar setelah membaca iklan Jatayu memerlukan gadis Bali asli untuk memerankan Ni Ronji. Ia pun mengikuti tes, menyingkirkan sejenak pekerjaannya sehari-hari membantu kakaknya di salon di Kuta. Ia menyisihkan ratusan pelamar, “Karena kata mereka, saya memiliki s...

Ketut Siandana - Tat Twam Asi

Sumber photo :  sawidji.com Seorang lelaki siteng acap kali muncul di karya-karya piodalan Pura Sad Kahyangan. Tubuhnya yang kekar membuat ia gampang ambil bagian dalam kerja yang memerlukan ketahanan fisik. Misalnya, ketika melasti ke Pantai Klotok saat upacara Panca Bali Krama tahun lalu, atau tatkala mendaki Puncak Mangu, nedunang Ida Batara Luhur Puncak Mangu. Ia selalu sigap, dan kuat. “Ini kegiatan yang sangat membahagiakan,” ujar laki-laki itu, Ketut Siandana   Sulung dari tiga anak laki-laki Wayan Kari ini selalu menyempatkan waktu tangkil ke pura, di tengah kesibukannya mengurus banyak perusahaan. Ia menggeluti mulai dari usaha toko kelontong sampai pelayaran (cruise) untuk wisatawan asing. Semua bisnis itu berpayung di bawah bendera Waka Gae Selaras. Semakin menukik ia ke kegiatan usaha mengurus orang asing,  justru kian kuat hasratnya berada di tempat-tempat suci. Ia ingin, usaha yang digelutinya sejak 1990, tetap mempertahankan kebaliannya. “Usaha-usaha kami m...

Jero Mangku Kusuma - Pawisik

Jika ingin tahu gairah bajang teruna kota menghadap Hyang Widhi, datanglah ke Pura Jagatnatha, di jantung Denpasar, saat purnama tilem. Inilah pura idaman kawula muda usia, pelajar, mahasiswa, dan pekerja belia. Banyak yang masih malu-malu, tak sedikit yang agresif, gesit, saling cubit, manja. Meriah. Yang paling tahu persis tingkah mereka tentu pemangku di Pura Jagatnatha: Jero Mangku Kusuma. “Kita harus memahami keinginan bajang teruna kita,” ujarnya teduh.   Sudah 20 tahun ia mengabdikan diri di Jagatnatha. Ia pun fasih karakter daa teruna Denpasar. Yang dia peroleh adalah, “Melihat anak-anak muda itu, kita bisa meraba seperti apa wajah Hindu di masa depan,” katanya. Ada remaja yang sangat rajin tangkil, sehingga Mangku hafal betul raut wajahnya. Ada pula yang cuma ikut-ikutan ke pura. “Tapi jangan buru-buru menyalahkan mereka. Semua itu proses pencarian untuk bertemu Sang Pencipta,” ujar laki-laki yang fasih berbahasa Belanda, Spanyol, Perancis, Ingggris, dan Jerman ini. Jika a...

Ida Ayu Mas Agung - Membangun Harmoni

Banyak orang mendambakan harmoni, tapi Dra Ida Ayu Mas Agung tidak. Ia justru menuduh harmoni telah menjadikan masyarakat terbuai, terlena, terlelap, tak berbuat apa-apa, dan akhirnya loyo.    Ia mencontohkan pulau kelahirannya, Bali, yang ternyata telah dikungkung dogma harmoni. Ia menuduh pembangunan Bali yang menitikberatkan pada sektor pariwisata, mengakibatkan kerugian bertumpuk-tumpuk. Salah satu penyebab kerugian  adalah dogma harmoni itu tadi.    Hidup bergelimang harmoni  ter-nyata dengan gemilang menenangkan orang Bali. Orang Bali benar-benar adem. Mereka pun takut keluar dari buaian keharmonisan itu, takut dituduh penyebab disharmoni. Akibatnya, orang Bali gampang direkayasa untuk kepentingan macam-macam dengan dalih harmoni. “Itulah kita sebagai orang Bali. Sudah terbius oleh opium harmoni,’’ ujarnya.   Ada jalan keluar untuk menghadapi buaian ini, Dayu? Ia menawarkan agar orang Bali mencoba membangun harmoni yang tidak membuat mereka terle...

Hindu tidak Mengenal Pembakuan Ritual

Tanya Jawab Prihal Upakara:   I Gusti Ketut Widana     Penjor Galungan tak Sama Om Swastyastu, Sewaktu Galungan lalu saya menemukan di lapangan, ada umat Hindu di Bali yang memenjor, ada pula yang tidak memenjor walaupun mereka sama-sama tinggal dalam satu wilayah desa adat. Juga ada dalam satu kompleks perumahan. Kenapa bisa demikian? Apakah ada sanksinya bagi umat yang tidak memenjor? Atau, apakah setiap Galungan diwajibkan  memenjor ?  Bagaimana penjor yang lengkap dan benar menurut sastra-agama? Unsur-unsur apa saja yang minimal harus ada dalam sebuah penjor? Bagaimana kalau unsur-unsur itu tidak ada, apa yang bisa digunakan untuk mengganti? Kain, misalnya, ada yang menggunakan kain ada juga yang tidak di pucak penjor. Warnanya pun tampaknya bebas, ada kain warna kuning, ada juga kain warna putih. Apakah semuanya boleh-boleh saja, atau ada standarnya? Om Santi, Santi, Santi, Om.  Putu Gede Kusumanegara Nusa Dua, Badung.

jro mangku !, titiang nunas tirtha.

jro mangku !, titiang nunas tirtha.

Bali Kekurangan Air ?

Fungsi air di Bali berkembang sesuai zaman. Kalau dulu air untuk memenuhi kebutuhan irigasi sektor pertanian, kini meluas termasuk untuk pariwisata, mulai dari mengisi ribuan kolam renang di hotel-hotel hingga menyirami rumput-rumput lapangan golf. Dua yang terakhir ini sangat rakus air sepanjang tahun. Kalau dulu air untuk memanjakan petani, kini tugasnya bertambah: memanjakan turis. Akibatnya, konflik pemanfaatan air pun tak bisa dihindari. Di tengah ketatnya rebutan pemakaian air, muncul begitu banyak keluhan dan kekhawatiran akan terjadinya krisis air. Dalam jajak pendapat secara kualitatif (lewat interview) bulan Juni-Agustus 1998 lalu, terungkap: hampir  50 % (14 dari 32) intelektual Bali menyebutkan masalah air sebagai salah satu masalah pokok Bali di masa depan. Mereka menduga, permasalahan air ini berkaitan dengan booming pariwisata awal 1990-an. Fasilitas pariwisata mendapat prioritas menggunakan air bersih produksi PDAM melebihi masyarakat umum. Secara teori tampaknya ...

Pemujaan Dewa Air

“ … Puja dan sujud hamba waktu pagi dan malam hari, O, Narmada Dewi, bebaskanlah kami dari pengaruh bisa naga….” Begitulah kepatutan manusia memuja Narmada Dewi, yang mengalirkan air Sungai Narmada yang suci. Upacara dan pemujaan itu digelar saban pagi dan malam hari. Tujuannya, agar air senantiasa ber-mana dalam arti menyehatkan dan menyuburkan. Ini disimbolkan (di-nyasa-kan) dengan telah dibebaskannya bisa naga, sebagaimana kutipan Visnu Purana di awal tulisan ini. Dalam sumber-sumber ajaran tattwa, baik dalam purana (terutama Visnu Purana dan Shiva Purana) maupun sumber lontar (riptaprasasti) di Bali, air memang dinyatakan sebagai wujud fisik Dewa Wisnu. 

Vcd Begituan di Zaman Kaliyuga

Gampang sekali memperoleh VCD porno. Sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan disfungsi seksual. Salahkan manusianya, ja-ngan VCD-nya Larut malam, dingin menusuk tulang. Di satu sudut pinggiran Denpasar masih tersisa keramaian. Maklum, tadi siang ada hajatan keluarga. Sebagian main ceki, yang lain asyik nonton video. Tua muda berbaur jadi satu. Salah seorang remaja tanggung mengganti VCD yang diputar. Sret klek......astaga! Di layar, adegan seks terhidang. Beberapa gadis berteriak kaget, setelah itu senyum-senyum, sembari malu-malu tetap menonton. Remaja cowok kegirangan. Beberapa orang tua yang menonton berkata pendek.’’ Beh, Nyoman, film begini yang diputar,’’ celetuk  laki setengah baya, yang kemudian  berbaur menonton bareng anak-anak remaja berusia belasan tahun itu.  Sesungguhnya peristiwa itu bukan istimewa lagi, kini. Menonton VCD  hot kini menjamur di kalangan remaja dan keluarga di Denpasar. Semua itu tak lepas dari mudahnya untuk mendapatkan VCD-VCD b...

Sasih Kaulu: Mulai Ngaben dan Nganten

Setelah Buda Kliwon Pahang, 9 Februari 2000, mulai baik melangsungkan kegiatan upacara perkawinan (nganten) maupun ngaben. Namun, hujan sering mengguyur. Hati-hati dengan blabur Kaulu. Sasih Kaulu (bulan Kedelapan) kali ini bermula sejak Saniscara (Sabtu)-Umanis, wuku Pujut, tanggal 5 Februari. Akan berakhir pada Redite (Minggu)-Kliwon, wuku Medangkungan, tanggal 5 Maret 2000 nanti. Dalam perhitungan kalender Bali, sasih Kaulu ini  nguya Karo . Artinya, sasih ini terpengaruh oleh karakter umum sasih Karo (bulan Kedua). Itu sebabnya, selain mendung dan hujan deras yang menjadi ciri umum Kaulu, udara dingin Karo pun bakal menghembus.  Cuma, bila hujan tak kunjung turun, langit bakal tersaput awan tebal. Di siang hari, ini akan menjadikan cuaca sangat gerah, meskipun sinar matahari tak terik. Yang perlu dicermati benar: hati-hatilah dengan intaian  blabur  Kaulu. Datangnya bisa sewaktu-waktu berupa hujan angin amat lebat beberapa hari sehingga memicu banjir deras. Ai...

Kasih Dihadang Pecalang

Bersama ribuan pemedek yang hendak ngaturang bakti, Mardika (memakai kemeja safari), dan kekasihnya, Astiti (mengenakan kebaya sutera dan kain endek), berdri di depan gerbang Pura Luhur Uluwatu. Antrean panjang pemedek berdesakan menuju jeroan. Setelah menunggu lebih setengah jam, sampai juga mereka di dekat pintu masuk. Dua orang pecalang berdiri di sisi kiri kanan, mengatur para pemedek agar tertib bergilir masuk. Mardika berdiri  persis di belakang Astiti, memegang pinggang pujaannya. Sekali-sekali Astiti menoleh ke belakang, beradu pandang dengan Mardika, tersenyum, seolah-olah bimbang, jangan-jangan yang memegang pinggangnya laki-laki lain. Beberapa anak tangga lagi, mereka akan bediri di gerbang utama, menunggu giliran segera  masuk ke jeroan.  

Kaceluag

Piodalan di pura selalu menyuguhkan denyar warna-warni pakain umat yang datang bersembahyang. Yang masih bisa jelas dibedakan biasanya busana pemangku, seka gong dan pragina (penari) yang biasanya ngaturang ayah masolah. Selain alasan anut ring sasana (mengikuti aturan) prihal busana, perbedaan ini  perlu agar memberi ciri yang lebih jelas kepada sekaa gong dan pragina itu, sehingga tidak campur aduk dengan pamedek lainnya.  

Sejarah Basah Kuyup

Mabakti ke Pura Sakenen, di Pulau Serangan, naik jukung  di hari raya Kuningan, dirasakan umat sebagai belitan antara perjalanan spiritual dan piknik: selalu membuat terkenang-kenang. Naik jukung berdesak-desak di dermaga Suwung, memang perasaan sempat galau, tapi se-gera tenang begitu duduk di papan sampan yang setengah basah. Bahkan semakin damai dan riang ketika jukung perlahan menelusuri sungai kecil, meliuk-liuk di se-panjang hutan bakau Suwung atau Prapat Benoa. Kicau burung, gemericik tongkat dayung membelah air, terasa alami dan membahagiakan.  

Tamu-tamu Wayan Tangguh

Wanita Italia itu sigsigan (terisak). Sekali-sekali ia mengusap ingus meleleh dari hidungnya yang bangir. Begitu dalam ia tersedu, sampai-sampai bahunya terguncan-guncang. Ini pagi terakhir ia di rumah Wayan Tangguh, setelah berminggu-minggu ia belajar menakik kayu, membuat topeng, di rumah seniman itu.Bukan perpisahan itu benar yang membuatnya gundah, tapi  karena ia tak sanggup membayar utang-utangnya selama ia tinggal di rumah seniman pahat itu.

Yang Bergerak Terus: Wayan Tangguh

Wayan Tangguh membukukan dirinya sebagai penakik tapel (topeng) terbaik yang kini dimiliki Bali. Ketika muda ia sangat miskin, di hari tua ia sangat pemurah. Apakah yang bisa dilakukan oleh mereka yang papa? Yang karena dirubung kemiskinan, sangat akrab dengan kenestapaan hidup? Penakik topeng Wayan Tangguh tahu persis jawabannya: jangan diam, teruslah bergerak.  Bergerak bagi Tangguh artinya bekerja. Zaman sekarang bekerja bisa diartikan persis untuk mendapat uang. Dengan uang orang sanggup menyelesaikan banyak hal:  Tapi, karena begitu getir masa kanak-kanak dan remaja Tangguh, berkerja di tahun 30-an bisa cuma berarti untuk sekedar makan. Di rumahnya tidak selalu tersedia cukup makanan. Maka ketika Tangguh muda mulai bekerja, yang ada dibenaknya adalah, “Saya bekerja untuk meringankan beban orang tua,” katanya. Di zaman itu, di tempat kelahirannya Banjar Mukti, Desa Singapadu, Gianyar, pusat kerja tidak di toserba, pabrik, atau pasar swalayan, tapi di puri, tempat para p...

Wuusssss….. I Tundung Lewat

Wuusssss….. I Tundung Lewat Orang Tenganan Pegringsingan yakin, selain berkat awig-awig, kelestarian hutan mereka beserta isinya juga karena dijaga ketat oleh seekor ular siluman bernama I Lelipi Selahan Bukit. Sebelum menjadi ular, ia adalah seorang manusia bernama I Tundung. Kisah I Tundung ini tetap menjadi cerita rakyat yang sangat menarik hingga kini. Alkisah, seorang lelaki bernama I Tundung sehari-hari menjaga kebun milik I Pasek Tenganan di Bukit Kangin. Tegal Pasek, kendati sudah dijaga Tun-dung, sering kecurian. Hari ini nangka yang hilang, besok pasti durian atau nenas yang lenyap. Tentu Tundung sangat geram. Berhari-hari ia mengintip si pencuri, tetapi selalu saja lolos. Ia pun bersemedi, meminta bantuan Yang Gaib agar  berubah jadi ular (lelipi). Ketekunan tapanya dika-bulkan. I Tundung bisa bersiluman  jadi lelipi.

Tenganan, Dijaga Awig-awig Abad ke-11

Tenganan, dusun yang dikepung bukit, menjadi contoh nyata, bagai-mana tradisi sanggup menjaga keseimbangan alam. Di Tenganan kita bisa belajar ketakwaan, disiplin, dan supremasi hukum. Stockholm, Swedia, 5 Juni 1972: Perserikatan Bangsa-bangsa menyelenggarakan konferensi lingkungan hidup pertama. Pakar-pakar lingkungan dunia berkumpul, membahas bumi yang sudah renta dan harus dijaga kelestariannya. Itulah tonggak awal kesepakatan dunia terhadap pentingnya merawat satu bumi. Tanggal 5 Juni kemudian diperingati sebagai Hari Bumi. Di Desa Tenganan Pegringsingan, abad ke-11, tetua-tetua desa, orang-orang lugu yang buta huruf, berkumpul membahas  upaya menjaga kelestarian dusun mereka. Keputusan sangkep itu kemudian melahirkan  awig-awig (aturan) adat untuk menjaga dan merawat hutan di bukit-bukit timur, utara, dan barat desa. Peraturan adat itu tertuang dalam “buku sakti”setebal 58 halaman, ditulis dalam bahasa Bali. Alangkah jauh rentang jarak itu, abad ke-11 ke abad 20: lebih...

Tirthayatra, Mengapa Tidak ke Panti Sosial?

Tanya Jawab Prihal Susila:   Ida Bagus Wijaya Kusuma   Simakrama dan Dharma Santi Tertarik hati saya membaca tulisan tentang simakrama pada hari Umanis Galungan yang disajikan SARAD edisi Nomor 1/Tahun I, Januari 2000. Dari paparan yang disampaikan Ida Pedanda Oka Punia Atmaja di situ, saya mendapatkan gambaran bahwa hari raya Galungan tidak saja menonjolkan kesan kemeriahan upacara dengan upakaranya, tapi juga penuh makna kemanusiaan. Ini penjelasan yang saya rasakan sangat bermanfaat.  Berkaitan dengan pemaknaan sisi kemanusiaan (sisi sosial) suatu hari besar keagaamaan, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah makna dharma santi setiap habis hari Nyepi? Lebih daripada itu, apakah tradisi ‘dharma santi’ itu memang ada dalam Hindu di Bali atau Hindu di Nusantara, ataukah itu hanya tradisi baru yang diciptakan? Adakah pijakan sastra-agamanya? Dan, kapan sebaiknya ‘dharma santi’ itu dilakukan, apakah bersamaan dengan Ngembak Geni, sehari setelah Nyepi, atau bat...

Subak Magpag Toya, Kota Makpak Yeh

Di hulu orang gunung khusuk magpag toya, di hilir, perkantoran, pebisnis pariwisata, rakus makpak yeh. Air Bali di ambang krisis. PDAM bisa berubah jadi Perusahaan Daerah Angin Mengalir. Tanggung jawab kelestarian air dan juga kehidupan di Bali kini sepertinya hanya menjadi tanggung jawab para petani subak. Terkesan kuat, hanya pe-tanilah yang berkewajiban melangsungkan upacara-upacara di pura-pura penting berkaitan dengan siklus air itu. Mereka yang bergerak di sektor jasa, di bisnis industri baru? Masing-masing mungkin sudah tahu jawabannya sendiri-sendiri.  Padahal, aci-aci (rangkaian upacara) yang mesti digelar tidaklah kecil. Juga, tidaklah berbiaya murah. Saat hendak memulai ke-giatan di sawah, petani subak sudah menggelar upacara magpag toya (menyambut kedatangan air) sebagai wujud syukur mereka terhadap anugerah Hyang Widhi dalam wujud air. Lalu, berlanjut ke tahapan ngrawit, mulai menanam padi. Terus berlanjut hingga nunas panglanus, mohon air suci agar tanaman subur...

Dari Batur Mengalir ke Nusa Dua

Empat danau sebagai catur bhagini menopang kebutuhan air Bali. Sayang, tak banyak yang menyadari kolam renang di hotel-hotel mewah, lapangan golf di Pulau Dewata ini pun sangat tergantung pada kemurahan Batari Sakti Dewi Danuh, penguasa air danau. Menapakkan kaki pertama kali di Bali tahun 1988, dari negeri asalnya, Inggris, Black – sebut saja begitu  - langsung menginap di sebuah hotel bintang lima, di kawasan Nusa Dua. Melihat pantai berpasir putih asri dengan air laut yang bening beriak kecil, Black pun langsung menceburkan raganya ke laut lepas di kaki Pulau Bali itu. Di sana dia berkecibak, sepuasnya.  Tak puas membasahi sekujur jasadnya di laut, dia pun nyemplung ke kolam renang hotel. Sesekali menyelam, sesaat kemudian berkecibak lagi. Kesejukan dan kenyaman menyusup ke sanubarinya. Esok paginya, dia mengguyur tubuhnya dengan air di kamar mandi hotel. Diantar sopir khusus mobil mewah dengan layanan kelas internasional, dia pun meluncur menuju hulu Pulau Bali: Besakih...

Memelihara Siklus Air, Menjaga Kesucian Jiwa

Air bagi manusia Bali bermakna kehidupan. Bisa juga kesucian. Mengoyak tatanan air, berarti memporakporandakan hidup sendiri. Dengan air jalan roh leluhur bisa dilempangkan, kesucian jiwa dimurnikan. Jagat menggang-menggung. Air tak lagi bersari. Bumi pun tak memberi hasil. Hyang Siwa tepekur. Lalu, diutus-Nya Batara Brahma, Wisnu, dan Iswara menyelamatkan jagatraya seisinya.  Batara Brahma melesak masuk ke dalam bumi, menjadi Naga Anantabhoga. Dari tubuhnya tumbuhlah pepohonan. Daunnya hijau lebat menyejukkan. Bunganya semerbak, buahnya tak terhitung. Dari pepohonan yang tumbuh dari Anantabhoga inilah manusia hidup, memetik kapas, memperoleh sandang, membuat papan. Kelaparan di bumi sontak berubah jadi kemakmuran. Anantabhoga memang berarti sandang, pangan, dan papan (bhoga) yang tiada habis-habisnya (ananta). 

Setelah Pangliman Toya Dilenyapkan

Air subak ‘dibajak’. Saluran irigasi dipotong. Air tanah disedot. Kawasan resapan sepanjang sungai (ruwi) yang secara tradisi tak bertuan, malah disertifikatkan. Siapa bertanggung jawab mengontrol pembangunan fisik yang tak mengindahkan tatanan air ini? Aduh! Bagaimana ini, PDAM? Tiap pagi airnya kok saencrit-saencrit. Kapan gedenya?” keluh seorang ibu suatu pagi dari kawasan Sanglah, Denpasar. “Bagaimana tak mangkel? Sumur saya juga kering. Siapa yang mesti bertanggung jawab. Halo, halo, halo .…” suara si ibu yang disiarkan langsung sebuah radio swasta itu tiba-tiba terputus. Tragisnya, hingga acara keluh-kesah lewat telepon itu usai sejam kemudian, tak ada pihak yang bisa memberikan jawaban melegakan si ibu. Keluh si ibu menguap begitu saja. Padahal, hari itu sejumlah kegalauan tentang air juga muncul dari ibu rumah tangga lainnya di kawasan Tohpati, Monang-Maning, bahkan Ubung. Isinya sama: pasokan air ke rumah kecil, air sumur surut.

Ketika Tradisi Air Digerus Budaya Jalan

Tanpa disadari tradisi Bali yang berorientasi pada air tergerus arus tradisi jalan. Dengan jalan-jalan beraspal mengkilat, transportasi memang lancar. Namun orang Bali menjadi kehilangan banyak media komunikasi dengan nyama braya. Saling curiga merebak. Perseteruan antarsesama kian memuncak. Bagaimana mengatasinya? Hilang sudah keceriaan yang biasa direguk Nyoman Sudiasih di kampung halamannya, di Desa Satra, Klung-kung. Masih tergores jelas dalam ingatan ibu satu anak ini, sepuluh tahun lampau, saban senja, seusai membantu orangtua-nya di sawah, ia berendam di Tukad Jinah. Di sana ia mandi sepuasnya bersama-sama dengan orang-orang di kampungnya. “Masa-masa itu sungguh menyenangkan,” kenangnya, berbinar. Meskipun sudah kelas tiga sekolah menengah atas (SMA) ketika itu, toh dia dengan wanita-wanita lain di desanya tetap saja merasa pantas mengecibakkan air yang mengalir deras dan bening di sela-sela bebatuan.

Kresek

Kendati sring mengganggu karena berterbangan saat umat melakukan pamuspaan, tas kresek, kala hujan ternyata jadi penting, berguna sebagai penutup kepala agar terlindung dari gerimis.

Mata Air Bali

Apa hubungan mata air denganair mata ?    Bagi seorang mahayogi suci, mata air yang baru  menyembul dari bawah tanah, bisa sangat menggetarkan hatinya. Kebeningan air sering dipersamakan dengan kesucian jiwanya. Tidak heran bila sumber-sumber susastra-agama di Bali lantas banyak membentangkan renungan-renungan tentang air. Air (baca juga: zat cair) yang menggenangi ¾ jagatraya serta mengisi ¾ jagat diri manusia ini, diberikan makna filosofis. Bahkan disakralkan. Di Bali, namanya berubah, dari  yeh  menjadi  toya , lalu menjadi  tirta . Sepertinya, ada tingkat-tingkatan air, meskipun secara fisik rupanya sama. Hanya, kegunaannya berbeda. Dan itu bisa dirasakan secara mendalam lewat rasa.